Thursday, August 27, 2015

Middle Earth Trip: Day 8

Pagi ini kami berangkat jam 5 dari hotel. Sarapan seadanya saja dengan sedikit biskuit dan minum teh/cokelat. Niatnya sih mau jalan kaki ke airport. Tapi berhubung ada tamu hotel lain yang mau ke airport dengan naik shuttle complimentary dari hotel, ya sudah yuk mari naik shuttle.

Sampai di airport kami melakukan printing boarding pass, kemudian menyetor koper ke bagasi. Lagi-lagi bisa dapat antrian yang cepat karena sudah online check-in. Setelah proses check-in, kami masuk ke lantai keberangkatan. Omla menghilang untuk setoran pagi dulu. Sementara Omla ke toilet, aku malah belanja boneka domba di toko buku Relay.

Mamak-mamak yang jadi kasir di toko buku Relay gak ngasih kantong kertas atau kantong plastik. Aku mau minta kok gengsi, takut dikira gak cinta lingkungan… Jadi awalnya aku gendong-gendong aja boneka itu. Pas Omla selesai dari toilet dan kami mau ke ruang tunggu dalam, baru deh bingung karena harus lewat X-Ray: masa’ domba warna putih mau dilewatkan di conveyornya X-Ray tanpa dibungkus? Untung nemu kantong plastik cadangan di dalam ransel. Si domba masuk ransel deh.

ruang tunggu Christchurch Airport yang sederhana tapi nyaman
Setelah melewati X-Ray, kami tiba di ruang tunggu dalam yang lebih mirip living room besar. Kursinya berbentuk sofa. Meskipun interiornya gak wah, tapi mungkin ini airport dengan ruang tunggu ternyaman yang pernah aku jumpai.

Jam 6 kurang kami dipanggil untuk boarding. Waktu pesawatnya take off di luar masih gelap. Di pesawat kami tidur aja. Gak kerasa tiba-tiba udah mau mendarat aja. Pas mendarat di Wellington, matahari baru mulai terbit. Suasananya persis seperti waktu kami mendarat di Sydney seminggu yang lalu.

Wellington Airport Apron
Waktu kami turun dari pesawat, dan melihat ke apron bandara Wellington, baru deh aku heboh dan bener-bener bangun…. Jadi di apron-nya ada tulisan besar dengan font yang cukup familiar: “Middle of Middle Earth”. Terus jalan sedikit ke arah pertokoan di lantai keberangkatan ada instalasi Gollum dan Gandalf + The Eagles, ukurannya lumayan gede. Norak-norak bergembira deh….

So juicy sweet.... Gollum... Gollum...
Setelah norak-norak bergembira di depan Gollum, kami turun ke baggage claim untuk mengambil koper (yang cepet banget tersedia kalo dibandingkan dengan di Jakarta hihihihi). Setelah itu berjalan ke tempat parkir airport shuttle. Pagi ini kami naik SuperShuttle lagi.

Waktu shuttle kami keluar menuju bandara, baru ngeh kalo ternyata di luar gerimis. Yaah… terus nanti siang gimana ya? Kan mau ikutan tour ke Mt.Victoria…. ntar kehujanan dong. Kalo menurut prakiraan cuaca sih shower-nya hanya pagi aja. Mudah-mudahan akurat ya….
Suasana kota Wellington
Kami termasuk yang diantar duluan (urutan kedua), karena tujuan kami ke Nomads Backpackers yang terletak di pusat kota.  Sampai di Nomads, langsung titip koper di gudangnya Nomads, habis itu bengong sebentar di ruang duduknya Nomads. Bingung mau ngapain dulu. Antara laper dan enggak, karena tadi pagi baru sarapan seadanya.

Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba naik cable car. Dari Nomads kami jalan kaki ke Talavera Cable Car Station. Dengan bermodal offline maps dari Google Maps di Galaxy Tab jadul, ternyata sampai juga di tempat tujuan. Jalannya lumayan menanjak ternyata, kalo di Google Maps gak keliatan. Hihihihi….

Talavera Cable Car Station
Sampe di Cable Car Station, kami kebingungan. Gak ada loket tempat beli tiket, adanya hanya petunjuk harga tiket saja. Lagi bengong-bengong gitu, terdengar bunyi bel yang menandakan cable carnya mau lewat. Rupanya kami ada di sisi yang salah. Harusnya yang ke arah atas ada di sisi sebrang. Kami cepat-cepat nyebrang lewat jembatan penyeberangan. Tapi gak keburu mengejar pas cable carnya berada sejajar dengan peron. Jadi kami menunggu cable car berikutnya saja sambil (tentu saja) berfoto.

Kira-kira 10 menit kemudian, bel berbunyi lagi. Ternyata cable carnya gak pindah jalur, hanya balik arah saja. Jadi kami salah jalur lagi. Lari lagi lewat jembatan penyeberangan. Kali ini cukup cepat sehingga kami tiba di peron seberang sebelum cable carnya berhenti di peron. Masinisnya tanya apa kami mau naik ke arah uphill? Kami tanya balik: tiketnya gimana? Dia bilang naik saja dulu, tiket bayar di atas.

Suasana di dalam cable car
Kami pun berhasil naik sampai ke stasiun paling atas. Kami bayar tiket ke masinisnya, seorang mbak-mbak. Karena gak ada uang pas, si mbak hanya minta NZD 4 saja…. padahal harusnya kami membayar NZD 8 untuk berdua.

Wellington dari Wellington Botanic Garden
Keluar dari Stasiun, kami melihat-lihat sekitarnya. Di sana ada museum Cable Car dan pintu masuk Wellington Botanic Garden. Aku berharap ada cafe buat sarapan, kalau kata Google Maps harusnya ada, tapi sepertinya sudah tutup. Hanya ada bangunannya saja. Museum Cable Car belum buka karena masih terlalu pagi. Sambil menunggu museum itu buka jam 9.30 kami mengambil gambar ke arah pantai. Wellington ini mengingatkanku pada Balikpapan. Cukup metropolitan, tapi gedung-gedungnya gak terlalu pencakar langit, plus ada gunung-gunungnya.

Sayangnya foto-fotonya gak terlalu seru karena cuaca masih gerimis. Nah pada saat gegerimisan itu, aku baru sadar kalau scarf cotton ink merah yang dari tadi pagi aku pakai gak ada. Dicari di tas juga gak ada. Kemanakah gerangan scarf itu? Aku mencoba mencari di dalam stasiun. Gak ada juga…

Wellington Botanic Garden
Guess what? Pas cable car yang kami naiki tadi kembali ke stasiun paling atas, ternyata scarfku ada di dalam cable car, tergantung dengan manisnya di kursi paling depan. Huhuhu…. mau nangis terharu. Ternyata scarfnya masih rejekiku. Kalo di Jakarta udah diembat orang kali ya…

Museum akhirnya buka, kami masuk bareng dengan anak-anak SD yang sepertinya lagi karyawisata. Mereka tiba dengan cable car setelah kami. Di museum dijelaskan tentang sejarah Cable Car di Wellington, cara kerja Cable Car (info yang akhirnya membuat kami mengerti kenapa tadi kami sampai dua kali salah peron), dan juga beberapa benda koleksi. Ternyata oh ternyata, cable car itu dibangun sebagai sarana transportasi untuk para commuter yang tinggal di atas bukit. Jaman dulu ditawarkan tempat tinggal di atas bukit, tapi kalau tidak ada sarana transportasi yang memadai, perumahan tersebut pasti gak ada yang berminat.
Selesai dari museum, kami diskusi mau kemana selanjutnya. Omla sempat mau ke Zealandia, tapi shuttle ke Zealandia baru saja berangkat, kalo jalan kaki lumayan juga. Kemudian Omla usul untuk turun ke bawah jalan kaki via Botanic Garden, tapi menurutku terlalu buang waktu (dan buang energi, belum sarapan niy). Jadi aku menyarankan untuk turun ke bawah naik Cable Car lagi, kemudian langsung cari makan, habis itu ke Te Papa Museum. Berdasarkan info yang aku dapat, museum itu gede dan bagus banget, jadi gak mungkin cukup waktunya kalau hanya sebentar.

Kami turun sampai ke stasiun paling bawah di Lambton Quay yang ternyata berada di tengah-tengah deretan pertokoan. Bentuk pertokoannya mengingatkan aku pada George St. di Sydney. Keluar dari stasiun, kami berjalan menyusuri pertokoan ke arah Nomads sambil cari-cari restoran yang menarik. Ternyata…. gak nemu restoran yang oke. Jadi aku menyarankan untuk makan saja di cafe-nya Te Papa Museum. Kalau kata Google Maps ada cafe-nya, mudah-mudahan gak sesat infonya seperti cafe yang di dekat Cable Car Museum.

Te Papa Tongarewa
Waktu kami jalan menuju ke Te Papa, gerimis berangin masih terus berlangsung. Lumayan dingin sih… meskipun gak freezing kayak di Queenstown. Sampai di Te Papa, nitip tas dan jaket di penitipan, terus masuk cafe. Omla makan sandwich, aku makan muesli dengan saus blueberry.

Cumi Kolosal koleksi Te Papa
Toilet dalam bahasa Maori
Selesai makan, kami langsung masuk ke ruang pamer. Jadi museum Te Papa ini gede banget. Mungkin kalo di Indonesia tuh saingannya Museum Indonesia di TMII. Bedanya kalo Museum Indonesia  isinya hanya tentang kebudayaan saja, sedangkan museum Te Papa ini isinya dari mulai flora dan fauna (baik yang native maupun pendatang), geologis, lingkungan, kebudayaan, sampai sejarah migrasi masyarakat yang sekarang ada di NZ. Cara penyajiannya sudah tentu sangat menarik. Oh ya, museum ini gratis. jadi karena kami tau waktunya gak bakalan cukup, nanti sore bakal balik lagi ke sini.

Jam 13.30 kami balik ke seputaran Nomads. Otw ke sana, kami lewat venue yang lagi dipakai wisuda. Terus sempet galau sebentar di depan i-Site (sebrangnya Nomads), karena ga ada rekonfirmasi sama sekali dari Wellington Movie Tours. Ditelpon kantornya gak ada yang angkat pula. Begitu jam 2, kami check in di Nomads. Omla agak lama ngambil kopernya, ternyata koper-koper kami udah terhalang dengan koper titipan orang lain.  

Kami ke kamar sebentar untuk meletakkan barang, ke toilet, dan lain-lain. Sempet bingung nyariin perlengkapan lenongnya Omla (kalo gak salah sih beanie), kirain ilang, ternyata jatuh di depan pintu kamar. Masih rejeki berarti…. Setelah selesai urusan siap-siap, kami turun ke lobby lagi untuk menunggu Tour LOTR di seberang, tapi untuk keluar dari lantai 3 sempet hampir kesasar gara-gara layoutnya gedung itu agak membingungkan.  

Sambil berharap-harap cemas, kami menunggu di bus stop khusus tour LOTR di seberang Nomads. Datang gak ya….? Kartu kredit yang dipake untuk booking belum terdebet, makanya gak yakin apakah bookingnya terkonfirmasi.

Ternyata… jam 14.30, mobilnya datang. Penumpangnya ada 4 orang (3 lelaki bule + 1 mbak-mbak oriental), driver/guidenya mbak-mbak blondie bernama Alice. Dan nama kami sudah ada di daftar penumpang. Gak pake lama, kami segera naik.

Baru jalan sebentar, Alice menurunkan mas-mas bule 3 orang tadi di dekat Embassy Theatre. Rupanya mereka memang hanya mengikuti tour LOTR yang ke Kaitoke Regional Park aka Rivendell. Mbak-mbak oriental (yang ternyata dari Hongkong) mengikuti tour full day, sementara kami hanya mengikuti tour yang di dalam kota Wellington.
Wellington dari Mt.Victoria
Destinasi pertama adalah Mt.Victoria - Wellington Town Belt. Di lokasi ini jaman tahun 1999 dulu dilakukan syuting pertama film Lord of The Rings: adegan “Shortcut to Mushroom” dimana 4 hobbits jatuh terguling-guling lari dari kejaran Farmer Maggots sebelum ketemu sama Black Rider. Selain itu kami juga mendatangi pohon yang digunakan untuk syuting scene yang hanya ada di Extended Edition DVD (The Passing of the Elves), plus tempat 4 hobbits kejar-kejaran sama Black Riders sebelum lari ke Buckleberry Ferry.

Lokasi Shortcut to Mushroom
Tentunya kami foto-foto. Foto di pohon tempat Frodo dan Sam istirahat sebelum ngeliat rombongan Elves mau ke Grey Haven. Foto di cerukan tempat the hobbits sembunyi dari kejaran Black Rider. Foto di pepohonan dekat “Buckleberry Ferry”. Alice membawakan beberapa property yang bisa digunakan untuk pose: wajan lengkap dengan bacon-nya Sam + replica The One Ring.

Frodo dan Sam lagi leyeh-leyeh di Shire
Untuk berkeliling di seputaran hutan Mt.Victoria, perlu beberapa pre-requisites: 1) sepatu yang enak dan gak bikin kepleset, 2) fitness level yang gak jelek-jelek amat, karena tracknya turun-naik.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Miramar, di sisi Wellington yang lain. Di daerah ini lah fasilitas produksinya Peter Jackson tersebar. Ada yg bentuknya gudang biasa, ada yg gedung klasik, macem-macem. Tapi mostly sih gak pakai identitas.

Stone Street Studio, yang ngejreng itu Giant Green Screen untuk outdoor scene
Kami singgah di luar Stone Street Studio. Dari luar terlihat tumpukan container yg digunakan untuk giant green screen. Di depan green screen itulah banyak scene outdoor (yg sulit untuk diambil di lokasi) dibuat.

Park Road Post, post production facilities
Dari Stone Street, kami lanjut ke Weta. Jadi kami dibawa ke sebuah toko souvenir yang terletak di pojokan jalan. Di depannya ada patung 3 ekor cave troll. Di dalam toko ada patung Gollum dan Gandalf, theatre kecil, barang-barang koleksi yang bisa dibeli (dengan harga fantastis tentu saja), dan mini museum yang memamerkan props aseli yang pernah digunakan untuk syuting.

Gollum! Gollum! Preccciiioouuss...
Sekitar jam 4.15, kami ikut tour keliling Workshop. Weta Workshop terletak di belakang toko souvenir tadi. Kami diantar oleh Matthew sebagai guide. Sebelum memulai tour, Matthew memastikan bahwa kami gak akan mengambil foto di dalam Workshop.

Sebagian besar cerita dalam tour itu adalah tentang proses pembuatan props dan sedikit tentang miniature/bigature. Membahas props aja bisa makan waktu lumayan lama. Mereka menggunakan teknologi yang tinggi, misalnya menggunakan alat pemotong laser yang bisa memotong sesuai pola dari komputer untuk pembuatan cetakan model. Tadinya cuman aku aja yang aktif bertanya. Tapi begitu masuk ke daerah pedang-pedangan… Omla langsung bersemangat.

Jadi… pedang yang digunakan di film itu bahannya minimal ada 3 opsi: stainless steel (ini otentik, paling berat), aluminium (ringan, kilaunya mirip dengan steel, tapi gampang bengkok, bayangin panci aluminium deh), dan plastik (ringan, kilaunya didapat dari cat, lebih tahan bengkok). Yang paling banyak dibawa-bawa oleh aktor adalah yang plastik, kecuali Viggo Mortensen, dia memilih untuk membawa pedang steel.

Bahan plastik ini cukup menakjubkan…. mereka bisa bikin plastik jadi terlihat seperti logam untuk digunakan sebagai pedang dan chainmail. Yang bikin lebih takjub lagi, mereka bisa menggunakan plastik untuk menggantikan kulit! Bahkan dari jarak sangat dekat pun terlihat seperti kulit. Keren yaa….

Waktu kami sampai di bagian puppet dan costume, ada 3 mbak-mbak lagi kerja. Ada yang lagi jahit kostum, ada yang lagi menggerak-gerakkan puppet. Bonekanya terlihat hidup. Aahh.. jadi inget gerombolan Tjetjunguk di Jakarta.

Kemudian masuklah seorang bapak-bapak. Wajahnya cukup familiar. Aku pernah lihat di extra yang di dvd extended edition. Bedanya  bapak ini terlihat lebih besar dari yang di dvd. Matthew memperkenalkan bapak itu sebagai Richard Taylor. Wwwooowww.... itu kan salah satu partnernya Peter Jackson di Weta.

Aku jadi salting. Sebenernya pengen foto tapi gak boleh moto kan di dalam workshop. Kami mengobrol. Waktu tauk kalau kami dari Jakarta, dia kagum gitu, katanya dia belum pernah ke Jakarta.

Setelah Richard pergi, kami menyelesaikan tour. Kemudian balik ke toko. Sebelum meninggalkan TKP, gak lupa foto sama cave troll dulu.

Weta Cave
Dari Weta, Alice sempat membawa kami melewati daerah Seatoun. Di tempat ini banyak villa-villa pinggir pantai. Viewnya ke arah teluk. Konon waktu syuting Lord of the Rings, aktor-aktornya disewakan rumah/villa di tempat itu (kecuali Ian McKellen yang memilih tinggal di disi lain kota). Pantas saja mereka betah di NZ, bahkan ketika banyak stay di kota besar macam Wellington.

Pemandangan sore hari dari Seatoun
Kami sempat berhenti untuk mengambil foto teluk, tapi sudah mulai gelap. Sebelum jalan balik ke tempat nginep, kami transaksi dulu. Rupanya kartu kreditku memang belum terdebet. Kemudian Alice mengantar kami ke downtown lagi. Di tengah jalan dia sempat menunjukkan tempat syuting desa Bree dari kejauhan.

Kami minta diturunkan di dekat Te Papa Museum, karena emang niatnya mau melanjutkan ekskursi. Karena hari itu adalah Kamis, Te Papa buka sampai jam 9 malam.

Sebelum melanjutkan Te Papa, kami makan malam dulu di McD di yang terletak di kompleks SPBU.

Setelah itu lanjut nonton Te Papa lagi sampai jam 20.30. Kemudian pulang jalan kaki ke Nomads. Waktunya istirahat...

Di Te Papa gak lupa foto sama backdrop ini

No comments: