Tuesday, August 25, 2015

Middle Earth Trip: Day 6

We’re going to Paradise! Iya pagi ini acaranya adalah pergi ke Paradise dan sekitarnya, lagi-lagi salah satu (salah banyak sih) lokasi pengambilan gambar untuk Lord of The Rings. Setelah sarapan (masih roti Pita rasa garlic juga), kami siap di lobby jam 8. Setelah menunggu sebentar, datanglah mobil 4WD milik Nomad Safari Tour. Driver/Guide-nya turun, seorang wanita bernama Flip. Setelah Flip melakukan checking voucher booking tour sebentar, kami langsung dipersilakan naik ke mobil. Rupanya hari itu pesertanya hanya kami berdua.


Kami langsung menuju ke Glenorchy, sekitar 40 km dari Queenstown. Setelah sedikit perkenalan, Flip menanyakan: apakah kami fans Lord of The Rings? Kalo iya, tipe yang seperti apa? Hahaha… kami gak melakukan cosplay ataupun bicara dalam bahasa Quenya atau Sindarin, tapi seperti halnya dengan Star Trek (dimana aku bisa ingat 178 episode Star Trek: The Next Generation), aku sudah mulai memorize detail-detail yang ada di buku ataupun film.   

The Remarkables - masih mengintip dari balik awan
Pemberhentian pertama kami adalah salah satu lookout point di jalan Queenstown-Glenorchy untuk memandang dan ngambil foto The Remarkables. Gunung yang banyak jadi background di Lord of The Rings.


Pagi ini cuacanya… cerah tapi dingin. Malah lebih dingin dibandingkan waktu cuacanya gak cerah. Yah, kayak Bandung di musim kemarau aja. Dingin… tapi tau-tau bikin kulit menghitam. Kalau kata Flip cuaca pagi ini: refreshing. Sedangkan kata Omla: freezing. Beda tipis ya…. hihihihi….


Perjalanan menyusuri tepi danau Wakatipu
Sepanjang perjalanan kami ngobrol macem-macem. Kebanyakan sih Flip bercerita tentang behind-the-scene story (Lord of The Rings tentu saja…). Sebagian besar sudah pernah aku lihat di DVD Extras. Tapi diselingi juga dengan pembicaraan tentang trivia tentang NZ (khususnya Queenstown). Termasuk tentang peternak sapi yang 1 sapi jantannya (bull) melayani 3000 sapi betina.


Ternyata Flip termasuk guide senior, untuk guide-guide yang lebih junior baru akan menerima pelatihan winter driving (seharusnya) kemarin. Tapi berhubung tiba-tiba turun salju, jadi dia diterjunkan kembali untuk melayani kami. Hihihi…

Di depan Pig Island, Tree Island, dan Pigeon Island
Pemberhentian selanjutnya adalah di lookout point lainnya untuk melihat Pig Island, Tree Island, dan Pigeon Island. Kalo Tree dan Pigeon Island sih udah kebayang kenapa namanya begitu. Nah, kalo Pig Island? Jadi Flip cerita kalau jaman dulu ada peternak babi yang meletakkan babi-babinya di pulau itu. Alasannya adalah agar dia gak perlu repot-repot membangun pagar di sekeliling peternakannya, terus babi-babinya tinggal makan rumput yang ada di pulau itu.


Alasan yang aneh… Iya sih gak perlu bangun pagar, tapi kan dia mesti membawa babinya naik kapal ke pulau itu, terus kalo mau dijual harus dibawa balik ke daratan. Lebih repot gak sih? Yaa… Flip juga berpendapat demikian. Menurut dia, orang yang punya ide untuk ternak babi di pulau itu cuman liat sisi gampangnya aja, gak mikirin sisi sulitnya. Pada akhirnya rumput di pulau itu habis, kecepatan regrowth dari rerumputan itu gak bisa mengejar populasi babi di peternakan itu. Terus peternak itu juga repot mesti bolak-balik naik perahu ke pulau tersebut. Sehingga dia memutuskan untuk merelokasi babi-babinya ke lokasi daratan yang berpagar tapi lebih masuk akal.

Mt. Earnslaw
Wakatipu Lake Shore
Snowy Farm
Persinggahan berikutnya (tapi kami hanya mengambil gambar dari mobil saja) adalah “Dead Marshes”. Ini adalah “rawa-rawa” yang merupakan tumbuh-tumbuhan pinggir danau. Konon kata Flip, tadinya syuting adegan di Dead Marshes mau dilakukan di tempat tersebut, sudah dibangun set agar bisa rawa tersebut dilalui oleh para aktor. Tapi kemudian set yang telah dibangun itu tenggelam. Sehingga syuting dipindahkan ke… Stone Street Studio, Wellington. (kalau untuk syuting panorama Dead Marshes dilakukan di dekat Te Anau).

Dead Marshes Wannabe
Di musim gugur seperti saat itu, aku langsung bisa menebak dengan benar ketika Flip menghentikan mobil di depan “Dead Marshes” dan bertanya: “Kalau tempat ini kenal atau gak?”. Menurut Flip, di musim panas semak belukarnya penuh dengan daun, sehingga pengunjung biasanya berkomentar: “Gak mirip Dead Marshes”.


Setelah “Dead Marshes”, pemberhentian berikutnya adalah Glenorchy.  Sebuah kota kecil yang konon populasi kuda-nya lebih banyak dari populasi manusia-nya. Penduduk Glenorchy banyak yang berpartisipasi dalam syuting Lord of The Rings, terutama yang berhubungan dengan perkudaan. Bayarannya lumayan, sehari NZD500.


Sebelum berhenti di dermaga, kami berhenti dulu untuk melihat perpustakaan Glenorchy (dari luar saja). Hmm… ukuran perpusnya lebih kecil dari pos sekuriti di kantor. Kecil banget. Cuman buka hari rabu dan jumat. Tapi keren, desa kecil yang penduduknya cuman 200 orang aja punya perpustakaan.


Kemudian kami pun berhenti di tepi dermaga. Melihat museum mini yang berbentuk seperti gudang. Isinya tentang sejarah The Head of Lake Wakatipu. Setelah foto-foto isi museum, kami ke dermaga. Dermaganya berlapis salju tipis, jadi lumayan licin. Sambil jalan ke arah dermaga, aku melihat Flip beberapa kali dengan sengaja menginjak “genangan air”. Setelah aku perhatikan lebih seksama, ternyata “genangan air” itu sudah berbentuk es tipis. Kalo diinjak, es tersebut akan pecah. Dan kepuasan menginjak es itu setara dengan mencet-mencet bubble wrap (plastik pembungkus perangkat elektronik).


Setelah foto-foto sedikit di dermaga, sempet disapa sebentar oleh labrador hitam. Setelah itu mampir ke toilet, karena kata Flip setelah itu gak ada toilet lagi. Waktu di toilet, Flip cerita bahwa di jalan itu tadinya ada toko yang menjual produk bulu-bulu (terutama bulu possum). Tapi baru saja menutup tokonya pada awal bulan Mei 2014, entah karena tokonya sepi, atau karena emang gak mampu berproduksi.

Earnslaw Burn
Next destination adalah: Paradise. Jadi sebelum sampai ke tujuan akhir, kami melewati perbatasan Earnslaw Burn, kemudian melewati pinggiran hutan yang merupakan bagian dari Mt. Aspiring National Park. Hutannya terdiri dari Beech Tree yang luarnya diselimuti dengan parasit Old Man’s Beard. Hutan pinggiran ini adalah tempat pengambilan gambar Lothlorien dan Amon Hen. Selain itu X-Men Origins: Wolverine juga mengambil hutan tersebut sebagai salah satu lokasi film. Kami gak mampir, rencananya akan mampir nanti dalam perjalanan kembali ke Queenstown.


Akhirnya kami tiba di Paradise. Sebelum sampai ke tempat tujuan, ada rumah pertanian besar yang menghadap ke Diamond Lake. Ceritanya dibangun oleh seorang bapak-bapak untuk isterinya. It was a romantic thing (for him): building a home in paradise for his lovely wife. Tapi ternyata isterinya itu gak suka. Entah kenapa. Mungkin karena sepi, atau jauh dari pusat perbelanjaan. Akhirnya suami-isteri itu bercerai, rumah itu dijual. Pemiliknya sekarang sepertinya cukup bahagia dengan rumah itu.

Beorn's House Location
Tempat tujuan kami adalah pinggir jalan yang viewnya ke arah selatan digunakan sebagai backdrop untuk Orthanc / Tower of Isengard / Menara-nya Saruman. Trus view ke arah timur adalah padang rumput yang digunakan sebagai lokasi rumahnya Beorn (dari The Hobbit). Seharusnya rumputnya hijau, tapi karena kemarin dulu habis hujan salju, jadi warnanya hijau muda. Pemandangannya emang indah ke segala arah. Emang sesuai dengan nama tempat itu: Paradise.


Putangitangi
Kami berfoto sebentar, kemudian balik ke arah Queenstown. Di jalan kami sempat mendapatkan momen pas untuk mengambil foto bebek lokal Paradise alias Paradise Shelduck / Tadorna variegata / Putangitangi. Warnanya khas, beda antara yang jantan dan yang betina.


Di hutan “Lothlorien”/”Amon Hen”, kami berhenti untuk menikmati snack pagi. Snack pagi kami ternyata diletakkan di cooler box yang diikat di bagian atas mobil. Flip harus memanjat bagian belakang mobil untuk mengambilnya. Kami bertiga sama-sama memilih hot chocolate. Kemudian aku menghabiskan entah berapa potong fruit cake. Fruit cake-nya enak banget. Berhubung hanya ada kami bertiga, aku jadi bebas mau ngambil fruit cake sesukanya. Well, selain kami bertiga ada juga sih penikmat lain: burung liar yang sepertinya sudah kenal Flip karena selalu nimbrung setiap kali Flip singgah di tempat itu.  


Di lantai hutan itu, ada tanaman yang namanya horopito atau biasa disebut pepper leaf. Flip memetiknya dari tanah, kemudian mengulum satu bagian dan memberikan bagian lainnya ke aku. Aku sempat terpikir: “Ih itu kan dari tanah, kalo bekas diinjek orang gimana?”, tapi pikiran itu hanya terlintas sesaat, karena tau-tau daun rasa pedes itu udah masuk ke mulut. Hahaha….
Setelah (lagi-lagi) foto di hutan itu, kami jalan lagi ke arah Queenstown. Sebelum keluar dari kawasan hutan, Flip menunjukkan tanaman yang dijadikan model untuk tongkatnya Gandalf.


Sepanjang perjalanan kami membicarakan tentang macem-macem dari mulai tokoh favorit di Lord of The Rings, Frodo haters, matanya Legolas, sampe perubahan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah New Zealand demi supaya syuting The Hobbit bisa dilakukan di New Zealand.


Aku sempet terkantuk-kantuk, hihihihi…. udaranya, dikombinasikan dengan gerakan mobil, dan ceritanya Flip yang soothing membuat jadi pengen tidur… sebelum terus dikeplak sama Omla. Iya emang gak sopan sih… tidur waktu si Flip lagi asik cerita.

Nomad Safari's Car - Twelve Mile Delta aka Ithilien
Sebelum tiba kembali di Queenstown, kami singgah di pos terakhir: Twelve-Mile Delta. Tempat ini adalah campsite yang jadi lokasi pengambilan gambar untuk Ithilien Camp, yaitu lokasi waktu Frodo dan Sam pertama kali melihat mumakil (gajah ala Middle Earth). “Sayang”nya hari itu gak terlihat seperti Ithilien Camp, karena tanahnya banyak tertutup salju! Selain berfoto dengan Omla, aku minta difoto dengan Flip dan juga dengan mobil Nomad Safari. Kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali ke Queenstown. Sebelum sampai di Queenstown, Flip minta kami untuk mengisi buku tamu. Dia juga memberikan info tentang sewa sepeda. Dan akhirnya menurunkan kami di Shotover Street supaya kami bisa mengunjungi toko Lord of The Rings. Waktu kami tiba lagi di Queenstown, cuacanya terang benderang. Perfect day for gowes deh!


Kami berkunjung ke toko Lord of The Rings sebentar, hanya melihat-lihat, kemudian lanjut ke mall kecil di Beach Street: cari McDonalds. Isi perut dulu sebelum cari sewaan sepeda. Omla seperti biasa pesan paket burger, kentang, dan soft drink. Sementara aku hanya pesan Pie Daging dan Apple Pie… wajib banget tuh apple pie kalo pas ke McD.


Selesai makan, kami mampir ke penginapan sebentar untuk ke toilet dan meletakkan beberapa barang yang gak perlu dibawa. Kemudian keluar lagi untuk mencari sewaan sepeda. Di pojokan Shotover Street dan Brecon Street, kami menemukan sewaan sepeda sesuai petunjuk Flip, tapi ternyata tokonya tutup karena staf-nya lagi training. Yah… kecewa….


Aku berusaha browsing untuk mencari sewaan sepeda lain. Tapi untungnya, nemu papan petunjuk di toko yang berada di pojokan Brecon Street dan Duke Street, namanya Alta Bike. Mereka menyewakan sepeda seharga NZD 29/half day (4 jam). Kami pun segera masuk ke toko tersebut. Ternyata sepedanya masih ada stock, sehingga tanpa pikir panjang langsung aku lunasi untuk 2 sepeda. Ukurannya juga cocok (meskipun bannya lebih gede dibandingkan sepeda gunung kami, tapi kayaknya sih ukuran ban itu standar untuk di NZ). Merknya Mondraker.


Setelah urusan bayar membayar dan milih helm selesai, masalah berikutnya adalah: gak mungkin kan menggunakan beanies di dalam helm sepeda? Padahal dinginnya enggak temenan banget sama kuping. Akhirnya kami menggunakan syal wool untuk bandana, baru dilapis dengan helm sepeda.

Frankton Arms Bike Trail
Setelah setelan sadel pas, kami berangkat menuju jalur sepeda paling gampang di seputaran Queenstown: Lake Wakatipu Ride yaitu menyusuri Frankton Arm dari pusat kota Queenstown sampai ke Kawarau Falls Bridge. Kurang lebih sejauh 10 km sekali jalan. Jalur sepeda di seputaran Queenstown (atau biasa disebut Queenstown Trail) saat ini ada sekitar 110 km, terdiri dari berbagai tingkat kesulitan. Berhubung kami udah lama gak naik sepeda, ambil yang paling gampang saja lah.


The Remarkables
Pemandangan di sepanjang jalur sepeda adalah The Remarkables. Kali ini bersih gak tertutup awan. Sayangnya posisi matahari di akhir musim gugur itu gak terlalu bersahabat buat foto-foto. Mayoritas track kami berada di bawah bayang-bayang gunung, sehingga supaya wajah obyek manusianya terlihat harus pakai blitz. Berhubung kami bukan penggiat fotografi, agak susah untuk mendapatkan pencahayaan yang terlihat natural.


Selain pemandangan alam, di dekat Frankton juga ada villa-villa di pinggir danau. Menjelang Kawarau Falls Bridge, mulai disambut dengan pesawat komersil yang mendarat dan take off. Kawarau Falls Bridge itu lokasinya dekat dengan bandara Queenstown.


Track sepedanya terdiri dari jalan sirtu dan ada sedikit bagian yang melewati jalan aspal. Rambu-rambu petunjuk arah cukup jelas dan mudah ditemukan. Sepanjang perjalanan tracknya hanya sedikit naik turun, kecuali menjelang Kawarau Falls Bridge ada bagian yang agak curam, batunya agak lepas-lepas, dan ada sedikit lapisan saljunya. Hihihi… jadi terpaksa tuntun sepeda deh.


Yang ini masih tebaallll.... 
Kami jalan sebentar ke Kawarau Falls Bridge, yang ternyata juga tertutup salju sehingga agak licin, foto-foto, kemudian kembali ke pusat kota Queenstown (10 km lagi!!). Setengah perjalanan, kupingku mulai gatal karena nempel ke syal wool yang dipakai sebagai bandana. Akhirnya kembali ke cara tradisional: lepas bandana dan hanya pake helm sepeda. Ternyata dinginnya gak separah yang aku bayangkan sebelumnya.


Untuk kostum sendiri, aku pakai 4 lapis: long john (base layer), kaos biasa, fleece jacket (middle layer), dan gore-tex jacket (outer layer). Meskipun dipake naik sepeda, gak keringetan sama sekali. Beda banget sama naik sepeda di Ragunan ya… (eyaa laahh). Untuk bawahannya pakai 3 lapis: long john, legging katun, dan celana quick dry. Nah… baru sadar kalo selama bertahun-tahun naik sepeda gunung, aku selalu pakai celana capri atau celana pendek, gak pernah pakai celana panjang. Kalopun naik sepeda pakai celana panjang (untuk ke kantor), aku pakai sepeda lipat yang punya tutup rantai di sisi kanan. Jadi ini pertama kali naik sepeda gunung pakai celana panjang. Hasilnya? Nyaris aja tuh celana quick dry kebanggaan nyangkut di rantai, sehingga pipa celana sebelah kanan terpaksa dilipat sampai dengkul. Biarin aja keliatan aneh, yang penting celana gue gak robeekk….


Kami sampai di Queenstown sekitar jam 4 sore. Langsung mengembalikan sepeda, kemudian jalan kaki ke Skyline Gondola untuk naik kereta gantung. Lumayan jauh juga jalannya, nanjak pula. Di tengah jalan ketemu lagi dengan “Harry Kim bersaudara”…. teman perjalanan kami dari Franz Josef.


Biaya untuk naik gondola adalah NZD 27/orang. Mahal banget ya bok? Kalo naik di Ancol atau Taman Mini berapa? Pasti gak segitunya kan? Nah, setelah kami berada di dalam gondola dan mulai bergerak ke atas gunung, melewati hutan di lereng gunung, baru deh kerasa kenapa harga tiketnya harus segitu mahal.  Tracknya curam banget. Kami naik sampai dengan ketinggian kurleb 450 meter di atas Queenstown. Gak kebayang kalo fasilitas gondola itu gak dimaintain dengan baik… Jadi kita bayar mahal (semoga) untuk merawat fasilitas gondola.


Pemandangan Queenstown dari Bob's Peak
Pemandangan di atas keren banget. Gak puas-puas ngambil gambar panorama ke arah Lake Wakatipu. Selain lihat pemandangan, kalau mau kita bisa main Luge, tapi aku gak tertarik. Sebelum sampai di Queenstown sempat menimbang-nimbang: mau main Luge atau nyepedah? Berhubung nyepedah lebih sesuai dengan kepribadian kami, jadi pilihannya jelas (gitu aja kok repot memutuskannya).


Setelah puas di atas Bob’s Peak (itu nama puncak gunung tempat stasiun gondola berada), kami turun kembali ke Queenstown. Matahari hampir terbenam ketika kami sampai kembali di Shotover Street. Kami langsung mampir ke toko Lord of The Rings untuk membeli buku Lord of The Rings: Location Guide Extended Edition-nya Ian Brodie.


Setelah berhasil membawa pulang buku Location Guide, kami nyebrang ke Fergburger. Tadi pagi Flip bilang hukumnya wajib untuk mencicipi Fergburger. Hmmm…. Untungnya mereka memasang daftar menu besar-besar di depan restoran, jadi kami bisa pilih menu yang gak pakai bacon/babi/sodara-sodaranya. Omla tadinya kekeuh mau pesan 1 orang 1 burger. Tapi aku curiga lihat harganya. NZD 11/porsi untuk yang original. Bener aja… sedikit ngelirik ke tamu lain yang lagi asik makan burger, porsinya tuh lebay gedenya. Jadi aku menugaskan Omla untuk pesan 1 aja, sementara aku ke Night n Day Foodstore buat cari perbekalan dan sarapan untuk besok. Di Night n Day, aku nemu pie daging lada hitam seharga NZD 2 sajah… karena hari itu lagi diskon pie. Beli aja buat jaga-jaga kalo ternyata Fergburgernya kurang.

Si Raksasa Fergburger
Waktu aku balik ke Fergburger, burgernya belum juga keluar. Saking banyak peminatnya. Setelah (akhirnya) burgernya keluar, kami langsung kembali ke penginapan. Belah burgernya pakai apa ya? Pakai pisau lipat mahal. Ternyata ½ porsi emang pas aja, gak kurang. Kebayang kenyangnya kalo terpaksa makan 1 porsi.


Setelah makan, aku keluar lagi sendirian. Mau cari oleh-oleh. Tujuan pertama adalah: Unichem Pharmacy, mau cari Neutrogena. Ada sih, tapi pilihannya gak seheboh di Singapore. Gak jadi beli deh. Tujuan berikutnya adalah ke Koha, beli boneka anak domba yang diskonan kemarin. Setelah pilih-pilih yang paling gak cacat, beli yang kakinya biru. Waktu aku bayar, penjaga tokonya tanya: apakah aku dari Malaysia atau Indonesia? Rupanya dia aslinya dari Malaysia. Seneng banget gitu ngeliat sodara satu kawasan….


Selanjutnya aku nyebrang ke toko Mary’s Sheep. Di sini pilihan oleh-olehnya lebih banyak. Tapi malah jadi bingung sendiri. Akhirnya hanya beli lip gloss, kaos buat Anton, dan gantungan kunci buat kulkasnya mbak Rani. Habis itu balik ke penginapan dan beristirahat… sebelum tidur gak lupa posting foto di WA.

No comments: