Senin, 27 November 2008
Aku terbangun ketika pesawatnya sedang menyongsong fajar, lebih kurang jam 6 waktu Sydney. Hmm… memang selalu keliatan keren, meskipun sudah pernah liat sebelumnya, tapi tetep deh…garis merah di cakrawala itu indah banget… Garis merah itu lama-lama jadi kuning dan kemudian, bingo! Terang deh...
Sydney masih 1 ½ jam lagi, kira-kira kami berada di atas Broken Hill or something, kalau liat ke bawah pemandangannya sawah (bukan gurun). Seingatku dulu ketika terbang dari Sydney, pemandangan di bawah kebanyakan gurun. Gak salah nih? Kami dibangunkan untuk dibagi handuk panas dan makanan ringan berupa muffin yang rasanya gak jelas. Di TV, mereka memutar acara sekilas info mengenai Sydney. Aha... yah... mereka kan maskapai Australia, wajar bukan kalo muter video tentang kota-kota mereka?
Ketika akhirnya mendarat di bandara Kingsford Smith, Sydney, jam 7.45... aku mulai agak-agak curiga. Kok? Panas? Padahal kemaren-kemaren liat laporan cuaca Sydney di google suhu berkisaran pada belasan-belasan derajat celcius.
Waktu lewat di garbarata, aku masih juga bengong liat cuaca hari itu yang mirip Surabaya itu. Belakangan aku baru tauk, kalo cuaca cerah banget itu sebenarnya berkah buat kami. Info dari Ndulo, usaha lain untuk menghindari jet lag adalah mengekspose diri sebanyak-banyaknya ke bawah sinar matahari, karena sinar matahari akan menghambat terbentuknya melatonin yang menyebabkan teler, ngantuk, dst.
Airport Kingsford Smith itu agak-agak jorok interiornya. Bukan jorok dalam artian kotor, tapi gak rapi… di langit-langit keliatan kabel berseliweran, berdampingan dengan saluran AC. Di imigrasi cukup ngantre, tapi gak terlalu heboh ngantrenya, jadi dalam waktu relative singkat kami sudah berada di samping conveyor bagasi. Koper kami juga gak lama keluarnya… Nah, yang lama adalah ngantre di pemeriksaan bea cukai…
Setelah lepas dari bea cukai, pak Yus dan Iqbal tukar-tukar uang dulu di money changer. Sementara pak Djoni ngobrol sama orang Indonesia yang kebetulan mau jemput temannya.
Karena tidak ada yang jemput, kami pun memutuskan naik kereta untuk mencapai hotel Travelodge. Mulailah aku, dengan rada-rada sok tauk, jadi navigator dari kelompok kecil kami itu. Kenapa aku bisa sok tauk? Karena 2 malam sebelumnya sudah mengenyangkan diri dengan info-info dari http://www.131500.info/.
Naik kereta dari International Airport ke stasiun Museum biayanya A$14.60. Karena kebanyakan uang kami masih pecahan 50an atau malah 100an, sedangkan ticket vending machine-nya maksimal hanya bisa mengeluarkan kembalian sebesar A$19.90, terpaksa pinjam meminjam uang dulu untuk beli tiket.
Turun ke platform kereta, dan kemudian naik kereta, tidak ada masalah yang berarti, untuk menuju platform disediakan escalator. Sempet takjub lihat gerbong kereta yang ternyata punya 3 level. 1 level di tengah tempat penumpang keluar masuk, kemudian 2 level atas dan bawah tempat penumpang duduk menikmati perjalanan. Di level tengah disediakan tempat duduk juga sih, tapi hanya sedikit. Kami memilih duduk di level tengah karena lebih lapang untuk meletakkan koper-koper kami.
Sampai di Stasiun Museum, aku kembali sok tauk… segera membawa rombongan menuju pintu keluar Liverpool Street. Tapi… ternyata di Stasiun Museum itu tidak tersedia lift ataupun escalator, jadi terpaksa angkat-angkat koper sambil mendaki tangga. Dengan polosnya ketika lewat pintu tiket, kami lewat di pintu orang, bukan pintu “orang+barang”. Jadi kopernya agak2 sempet kejepit…hehehe… Untung saja kopernya hanya terisi setengah penuh.
Keluar dari Stasiun Museum, aku berusaha mengingat-ingat gambar peta yang dua malam sebelumnya aku lihat di internet tapi gak sempat aku cetak… Kemudian membawa rombongan menyusuri Elizabeth Street, Goulburn Street, dan menemukan Wenthworth Avenue, tempat hotel Travelodge Sydney berada. Sempet sekali salah belok. Tapi untung cepet sadar untuk kembali ke jalan yang benar… lumayan lah… secara petanya berdasarkan ingatan doang.
Di Hotel, kami melakukan prosedur “pre-check-in”. Seperti biasa, masuk hotelnya baru boleh jam 2 siang, tapi kita udah check in dulu, supaya ketika sudah waktunya… bisa tinggal ngambil kunci aja. Waktu Iqbal dan pak Djoni lagi sibuk daftar dilayani staf front office hotel bernama Mbak Novi yang ternyata berasal dari Medan, aku melakukan ritual penyegaran pagi-pagi, alias cuci muka, sisiran, dan ke toilet. Saat itu kan kami dalam keadaan belum mandi. Berhubung mau langsung jalan-jalan, setidaknya harus dandan dulu, biar seger dan gak kebawa ngantuk. Selesai dandan, aku menyimpan laptop dan jaket ke dalam koper, kemudian kami semua menitipkan koper ke concierge.
Kami berjalan kembali menuju stasiun Museum. Kemudian mempelajari sebentar tentang tiket Travel Pass. Aku berhasil meyakinkan yang lain untuk membeli Green Travel Pass seharga $43, karena tiket tersebut mencakup stasiun terdekat ke kantornya Avaya yang besok akan kami kunjungi: Epping. Tiket Travel Pass itu berfungsi sebagai sejenis ”tiket terusan” yang berlaku selama 7 hari untuk naik kereta, bus, dan ferry di area tertentu seputaran Sydney. Luasnya area cakupan tiket tersebut bergantung pada jenis dan harga tiket yang ditandai dengan warna. Yang paling murah adalah warna Merah, harganya $35. Tiket Hijau yang kami beli adalah yang kedua termurah dengan cakupan yang lebih luas. Kalau kita memang berencana untuk banyak menggunakan ketiga kendaraan umum tersebut selama berada di Sydney, Travel Pass itu sangat ekonomis dibandingkan beli tiket ketengan.
Kami langsung menggunakan tiket tersebut untuk naik kereta ke Circular Quay, yang jaraknya hanya 2 stasiun dari Museum. Begitu turun dari kereta, di stasiun Circular Quay, terbentang pemandangan landmark kota Sydney: Opera House berseberangan dengan Harbour Bridge. Dan aku pun bilang pada diriku sendiri: ”Welcome to Sydney Git...”. Dari tadi rasanya belum nyampe di Sydney sih...
Sebelum berjalan kaki ke Opera House, kami beli dan makan sandwich dulu di salah satu dermaga ferry Circular Quay. Bapak-bapak tiba-tiba kelaparan. Hmm... bukannya tadi sudah sarapan muffin ya di pesawat? Tapi meskipun sebentar lagi jam makan siang, di Jakarta sekarang adalah jam makan pagi. Jadi... aku gak protes, ini kan bisa dianggap brunch lah, biasanya juga jam segini aku turun ke Starmart cari cemilan. Aku ikutan beli Chicken & Cheese Sandwich, tapi hanya mampu menghabiskan sepotong. Sepotong lagi aku masukkan ke tas, untuk dimakan nanti. Dan kami pun makan dengan ditemani burung merpati dan camar yang tiba-tiba nimbrung hinggap di meja-meja kios makanan tersebut.
Setelah bapak-bapak kenyang, kami pun jalan kaki ke Opera House. Waktu kami sampai di dekat Opera House, langit agak tertutup awan, aku jadi teringat kunjunganku 13 tahun lalu. Suasananya mendung-mendung gitu karena emang waktu itu lagi winter. Beberapa hal rasanya sih gak berubah... contohnya tempat bis turis nge-drop rombongan tour-ku 13 tahun lalu. Pas aku melihat ke sana, rasanya deja vu... Tapi ada juga yang berubah... kalau dulu kami masih bisa lihat display mengenai sejarah Opera House, sekarang ini... untuk masuk ke Opera House harus ikutan tour keliling Opera House seharga $35. Mungkin kalo aku pergi sendirian, atau hanya dengan keluarga, aku akan ambil tur itu, buat membandingkan dengan Gedung Kesenian Jakarta (wakakakakak....).
Lagi tengah-tengah foto-foto di sekitaran Opera House, awan-awan yang tadinya menutup langit tersibak entah kemana, dan langit pun menjadi sangat cerah. Wow... aku langsung mikir: hmm... kalo gini caranya, sebelum berangkat tidak perlu khawatir tentang ”bawa berapa jaket” dunk... Cuacanya ennaaakkk banget... mengingatkanku pada Bandung di tengah tahun: cerah, matahari bersinar, tapi gak sumuk. Buat foto-foto juga bagus banget... Namun sepertinya matahari Sydney itu memberi kontribusi awal pada hitamnya diriku 2 minggu kemudian... hehehe...
Dari kejauhan, kelihatan orang-orang yang lagi ikutan tur Harbour Bridge Climbing. Jadi mereka membayar sekitar $189 untuk naik ke atas railing-nya Harbour Bridge. Perjalanan turun naik kurang lebih 3 jam katanya. Hii... kalo aku sih males: bayar mahal untuk disiksa di atas ketinggian...
Setelah puas foto-foto, kami berjalan ke Circular Quay lagi. Kali ini kami mau mencoba naik ferry ke Darling Harbour. Tapi sebelumnya si Iqbal sempat menghilang ke toilet. Kami naik ferry jam 12.45 dari Wharf 5 ke arah Darling Harbour. Emang dasar gak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati pemandangan, aku, Iqbal, dan pak Djoni memilih duduk di gang di dek ferry. Anginnya booookkk… gede pisaaann… pak Djoni akhirnya memilih masuk ke ruang penumpang. Sementara itu pak Mahyudin terkantuk-kantuk masih jet lag.
Kami mendarat di King St. Wharf number 3 yang ternyata masih jaaauuhh jalan kaki ke areal Darling Harbour. Kami sepakat untuk cari makan. Pak Mahyudin sepertinya udah lelah, pak Yus masih santai-santai saja, tapi memang gak se-fully charged aku yang emang udah diniatin dari jauh hari sebelum berangkat bahwa: aku gak boleh kena jet lag. Tapi dengan matahari yang terik banget, kering, dan jam yang bahkan sudah mendekati jam makan siang waktu Indonesia bagian Menara Satrio (kami biasa makan siang jam 11.30), kami memang harus istirahat.
Di pertokoan dekat King St. Wharf itu tidak ada restoran yang cukup meyakinkan (terutama meyakinkan di kantong), kebanyakan pub gitu deh… Kami harus berjalan melewati Sydney Aquarium, Sydney Wildlife World. Kemudian berhenti sebentar sebelum naik ke Pyrmont Bridge, karena pak Djoni nemu telepon umum. Pak Djoni mencoba nelpon James, host kita di Avaya Sydney, untuk memberi tahu bahwa kami sudah mendarat di Sydney. Responnya adalah: “langsung aja datang besok pagi..”
Kami melewati Pyrmont Bridge, berjalan di bawah bayangan jalur monorail. Monorail itu, satu-satunya kendaraan umum yang kunaiki di Sydney 13 tahun lalu. Setelah Pberpanas-panas dan berhenti beberapa kali untuk foto-foto, akhirnya... sampai juga di Harbourside Shopping Centre.
Shopping centre itu, terlihat kecil. Padahal menurut ingatanku, shopping centre itu gede banget. Di situ lah pertama kali aku menemukan Dymocks yang jualan banyak buku Star Trek sebelum menemukan toko buku Dymocks di George St. yang jualan lebih banyak lagi buku Star Trek. Sekarang… tidak terlihat ada tanda-tanda Dymocks di mall tersebut.
Mungkin juga persepsiku tentang besar-kecilnya mall, terpengaruh oleh keadaan Indonesia sekarang dibandingkan 13 tahun lalu. Kalo 13 tahun lalu, buat aku yang namanya Mall itu ya cuman Pondok Indah Mall saja, makanya Harbourside Shopping Centre keliatan wah banget. Sekarang? Di Jakarta doang buuaaannyyyaaakkk banget mall, tinggal pilih mau yang kecil mungil, atau yang super duper heboh kayak Kelapa Gading Mall, Grand Indonesia… Belum lagi Tunjungan Plaza yang bikin aku kesasar seminggu sebelumnya.
Kami makan di food courtnya Harbourside Shopping Centre. Aku beli Kids Meal Kebab seharga $7.50 yang terdiri dari Beef Kebab, Chips, dan Orange Juice yang botolnya kayak bedon buat naik sepeda. Sesuai perkiraanku, Kids Meal-nya cukup banyak buat aku. Buat menghabiskan Chipsnya saja harus dibantuin. Oya, mereka menyebut kentang goreng dengan sebutan “Chips”, padahal dalam persepsiku, yang namanya chips itu keripik.
Ternyata aku haus sekali… orange juicenya cepat sekali bocor jadinya… aku berniat, begitu sampai hotel aku mau minum air yang buuaaannyyaaakkk… Air mineral ukuran 600ml di sana harganya berkisar $2 (sekitar Rp.14000). Sakit hati lah kalo mikirin rupiahnya. Aku menyiasatinya dengan membawa botol minum kosong dari Jakarta di koper, untuk diisi dengan air kran yang drinkable setiap pagi sebelum berangkat dari hotel. Kebetulan aku tergolong cukup “tega” untuk minum air kran. Sebenarnya kalopun gak setega diriku, bisa saja sedikit repot dengan cara memasak terlebih dahulu air kran dengan menggunakan pemanas air yang buat bikin teh/kopi.
Satu hal yang jadi perhatian kami di food court ini adalah: semua orang membereskan sendiri sisa-sisa makanan dan bekas eating tools yang selesai digunakan, kemudian membuangnya di tempat sampah. Mandiri banget deh… Petugas kebersihan tugasnya bener-bener hanya mengosongkan isi tempat sampah tersebut. Gak harus membersihkan meja-meja dari bekas makanan.
Selesai makan, kami berjalan ke arah Pyrmont Bay untuk naik ferry balik ke arah Circular Quay. Dalam perjalanan ke arah Pyrmont Bay, lagi-lagi berpapasan dengan orang naik sepeda. Dari tadi di Circular Quay, aku sudah ngiler pengen naik sepeda di sini. Keliatannya tempatnya sepeda friendly banget. Sepeda bisa seliweran di trotoar tanpa saling mengganggu dengan pejalan kaki, dan juga cukup dihargai di jalan raya.
Di Pyrmont Bay kami melihat kapal model Bounty sedang bersandar di dermaga. Antik banget, dengan layar-layar yang terlipat. Tapi kalo disuruh naik perahu begituan, mabok kali ya aku? Perjalanan ferry dari Pyrmont Bay ke Circular Quay lebih berangin dan lebih bergelombang dibandingkan perjalanan pergi tadi. Sesampainya di Circular Quay, sempat bengong sebentar (dan aku sempat ngambil foto burung camar dari dekat sekali), sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk hotel dulu. Kami pun naik kereta lagi menuju stasiun Museum.
Sampai di hotel, ternyata ada salah persepsi di pihak hotel. Kami dianggap hanya booking 2 kamar!!! Dong dong banget deh… Ih, padahal kami kan udah bayar buat 3 kamar… Gimana cara coba ya… masa’ bapak-bapak itu mau tidur berempat kayak sarden? Terpaksa deh… telepon ke ANTATOUR Jakarta. Kami sempat mau coba telepon via PABX Kantor, tapi ternyata gak nemu koneksi internet. Opsi berikutnya adalah menggunakan salah satu selular kami, dan ternyata satu-satunya telepon yang bisa melakukan panggilan ke Jakarta adalah teleponku. Boookk… complain tentang beginian kan gak bisa sebentar doang… padahal aku aslinya pelit pulsa kalo udah namanya roaming internasional.
Akhirnya aku, Iqbal, dan pak Djoni menunggu di lobby, sementara pak Yus dan pak Mahyudin yang sudah teler, tinggal di kamar 720. Ternyata front office hotel sudah bicara dengan ANTATOUR dan lagi nunggu konfirmasi soal bookingan ketiga. Setelah nunggu gak jelas di lobby (untungnya gak makan waktu lama), akhirnya kami dapat bookingan ketiga itu. Fiiuuhh... untung deh... kalo nggak, urusan bisa lebih panjang lagi.
Aku dapat kamar 1312, kamar yang double bed, sementara kamar lainnya twin bed. Kamarnya kecil, tempat tidurnya standar banget, meskipun selimutnya katanya sih wool dari domba Merino. Tapi fasilitas tambahannya lumayan oke: ada setrikaan, ada pemanas air + teh kopi, ada beberapa set piring gelas sendok garpu, ada bak cuci piring, dan yang terpenting: ada microwave oven!!
Aku langsung mandi di kamar mandi yang seuprit (tapi menyediakan tali jemuran juga ternyata, lumayan... cukup buat menjemur 1 CD, 1 bra, dan 1 shirt). Setelah itu manasin sisa Chicken Sandwich yang tadi siang. Hmm... giling juga tuh microwave oven. Perasaan cuman 1 menit deh manasinnya, tapi kemebulnya (dan juga lelehan keju cheddarnya) kayak manasin 5 menit!! Pantesan aja dikasih tulisan peringatan untuk memperhitungkan waktu dengan benar, karena kalo sampe kebulnya kebanyakan, itu bisa membunyikan alarm kebakaran, dan membuat pemadam kebakaran datang ke hotel tersebut. Nah, konon dendanya bisa sekitar $400 sendiri karena false alarm itu.
Jadi enak banget tuh Chicken Sandwich dengan whole wheat bread-nya yang jadi lemes kepanasan, atau aku kelaparan ya? Waktu itu baru jam 7 waktu setempat, masih terang benderang, atau jam 3 WIB… biasanya masih ngutek di depan kompie di kantor. Tapi aku tetep aja bisa makan over-heated sandwich tadi dengan lahapnya seperti selayaknya makan malam.
Setelah itu aku ketiduran. Bangun-bangun sudah jam 8. Aku heran, kenapa Iqbal gak nelpon-nelpon ya? Katanya bapak-bapak pengen cari makan malam? Akhirnya jam 9 aku telepon kamar mereka, ternyata kasusnya sama: ketiduran. Kami gak tega mau bangunin pak Yus dan pak Mahyudin, jadi sepakat pergi bertiga saja. Ternyata waktu kami jalan meninggalkan hotel, pak Yus dan pak Mahyudin ada di belakang kami. Kasus mereka juga sama: ketiduran, terus bangun, kelaparan, tapi heran kok gak ditelpon-telpon. Karena kelaparan, akhirnya memutuskan untuk keluyuran cari makan, ternyata pas barengan dengan kami mau keluar juga.
Kami berjalan kemana kaki melangkah. Tidak seperti tadi siang yang panas menyengat, malam ini sedikit windy... Padahal aku hanya bermodal t-shirt. Hehehe... Akhirnya sampai di China Town, yang ternyata food courtnya sudah banyak yang tutup. Tinggal tersedia resto yang kalo gak keliatannya mahal, ya keliatannya gak halal. Setelah mencari dan mencari, ujung-ujungnya masuk ke McD Sydney Entertainment Center. Aku hanya pesen teh panas dan apple pie. Enak banget, dingin-dingin berangin gitu minum teh dan pie panas. Tehnya aku campur dengan susu, kalo yang semalam nyepret ke jeans, yang kali ini belepetan di meja. Payah deh... Oya, aku udah lama gak makan apple pie garing yang yummy kayak gitu semenjak menu apple pie menghilang dari seputaran Wendy’s dan McD di Jakarta (itu terjadi mungkin pas aku SMU), dan sekarang aku belum sempat mencoba pie-nya Burger King.
Setelah itu kami jalan balik ke hotel lagi. Sempat mampir ke convenience store di seberang hotel. Bapak-bapak pada mau beli minum. Hihihi… sementara yang lain pada beli air, aku cuek-cuek aja, entah udah berapa gelas air kran aku minum sejak sampai di hotel sore tadi. Dan malam itu pun tidur dengan suksesnya, baru terbangun ketika weker berbunyi keesokan paginya. (oya, di kamar hotel juga tersedia jam meja loh... jarang ada tuh).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment