Hari ini sudah gak conference lagi. Setelah makan pagi, pamitan sama bu Sapta (yang siangnya mau balik ke Jakarta), terus jam 9 berangkat City Tour. Karena pesertanya hanya aku sama Ibu, kami naik mobil sedan saja. Aku tak hafal sedannya jenis apa, pokoke Proton Something gitu deh.
Tempat tujuan pertama adalah istana sultan. Turis gak boleh masuk ke istana, tapi boleh foto-foto di depan pagar istana-nya. Aku malah lebih tertarik foto-foto sama kuda yang dinaiki oleh mas-mas penjaga gerbang istana itu. Tapi gak mau dekat-dekat juga sih, takutnya tiba-tiba si kuda nengok dan mencium diriku. Hihihihihi....
Dari istana terus kami menuju ke Muzium Negara (National Museum). Harga masuknya 2 ringgit. Museumnya sih bersih dan terawat. Isinya tentang kebudayaan Malaysia, terus juga sejarah singkat Malaysia, dari mulai kedatangan penjajah Portugis, sampe seperti sekarang ini.
Seperti halnya museum yang bercerita tentang kebudayaan di Taman Mini (aku lupa namanya museum di Taman Mini itu), tentunya banyak menggunakan mannequin. Nah itu dia yang bikin museum itu jadi sedikit creepy. Bedanya dengan museum2 di Indonesia adalah, mannequinnya di Muzium Negara ini bersih-bersih, jadi seringkali susah dibedakan dari orang beneran. Udah gitu, Muzium Negara ini juga dilengkapi dengan screen video. Jadi... semakin creepy aja. Misalnya pas kita membelakangi screen yang lagi muter video, kesannya kan jadi kayak ada yang bergerak-gerak di belakang kita, padahal gak ada siapa-siapa, kecuali mannequin. Creepy kan?
Kebudayaan Malaysia ya mirip-mirip dengan kebudayaan Indonesia, karena kita itu memang bersaudara. Orang-orang yang tinggal di East Malaysia itu ya sama-sama orang Dayak. Terus yang bangsa Melayu mirip dengan orang-orang Sumatera. Hanya saja mereka juga mengasimilasi kebudayaan Cina dan India. Terus ada juga Orang Asli yang merupakan bangsa Negrito.
Terus, kalo Malaysia punya keris, tidak perlu beranggapan bahwa mereka ”mencuri”-nya dari Indonesia. Karena mereka mengakui bahwa sebelum kaum penjajah datang, mereka itu ada di bawah kekuasaan Majapahit. Kemungkinan yang membawa keris masuk ke daratan Malaysia kan orang-orang Majapahit juga?
Oya, lucunya... atap dari Muzium Negara ini berbentuk atap rumah gadang. Mereka bilang itu ”Atap Minang”. Aku tidak tahu alasannya, kenapa mereka membuatnya menjadi seperti itu.
Dari Muzium Negara, kami menuju ke tugu War Memorial, di dekatnya ada Taman ASEAN gitu deh. Isinya ya tugu peringatan perang kemerdekaannya Malaysia, ada nama-nama pahlawan yang gugur. Sempet foto-foto dan beli souvenir.
Dari War Memorial, terus ke National Mosque atau Masjid Negara. Di sebrangnya ada Old Railway Station. Sempet foto-foto sebentar saja, kemudian kami menuju ke Dataran Merdeka. Kalo hari biasa, Dataran Merdeka itu bentuknya ya lapangan gitu, ada jam gadangnya (jam besar maksudnya). Tapi karena hari itu lagi dipersiapkan untuk Hari Kemerdekaan tanggal 31 Agustus, jadi Dataran Merdeka-nya penuh dengan panggung, sound system, lighting, yah buat persiapan acara keesokan harinya. Jadi gak leluasa deh.
Dari Dataran Merdeka terus kami menuju ke KLCC. Niatnya mau foto-foto di depan Twin Towers tapi dari pintu depannya Twin Towers (kemaren-kemaren kan dari depan Suria KLCC). Tapi apa daya, ternyata hujan turun... jadi baru mau foto-foto udah lari-lari balik ke mobil. Lagipula angle-nya juga susah sih, terlalu dekat ke Twin Towers-nya, jadi pasti gak dapet ujung gedungnya deh.
Dari KLCC terus kami menuju ke pabrik kulit. Kulitnya tuh macem-macem deh, dari mulai kulit sapi yang standar, kulit ikan pari, sampe surai kuda yang dianyam. Tapi desainnya kurang menarik, udah gitu harganya juga mahal-mahal. Mendingan ke Tajur atau Tanggulangin deh.
Dari pabrik kulit terus ke pabrik batik. Batik?? Kedengerannya aneh ya?? Hmm... Ternyata mereka tidak menjual barang-barang seperti layaknya toko-toko batik di Yogya atau Solo. Mereka lebih banyak menjual scarf dari bahan silk yang gambarnya dibuat dengan teknik membatik. Motifnya sih bunga-bunga biasa aja. Bukan motif tradisional seperti Yogya atau Solo.
Mas-masnya ngajarin bikin kreasi dengan menggunakan scarf. Dia sengaja melakukannya dengan cepat, dengan dalih bahwa kalo kita beli scarfnya nanti dikasih buku instruksinya. Lucu-lucu deh hasilnya. Hmm... Tapi meskipun dia cepat-cepat demonya, aku berhasil mengamati cara-nya dia bikin korsase dari scarf, dan setelah balik ke Jakarta aku berhasil membuat korsase dengan salah scarf yang ada di rumah. Hihihihihi...
Setelah pabrik batik, kami ke showroom coklat Malaysia yang merknya Beryl’s. Hmmm... Special productnya adalah coklat rasa tiramisu, dan coklat isi buah-buahan. Boleh lah rasanya... enak, yummy yum yum. Kita boleh nyobain coklat-coklatnya. Mereka punya banyak tester. Bahkan coklat rasa durennya juga enak (tapi baunya gak enak, duren banget, terutama setelah seharian disimpan di dalam tas... begitu tasnya dibuka... WUUSSHH.... semerbak bau duren...).
Kenapa Malaysia punya industri coklat? Dulunya orang Malaysia mengimpor coklat yang sudah jadi dari Eropa. Tapi... coklat-coklat dari Eropa itu kan banyak yang mengandung liquor (hehe... bukannya justru itu yang bikin enak yak?). Karena ada liquornya itu jadi haram. Nah, supaya yakin akan kehalalannya, akhirnya mereka mengolah coklat sendiri, sebagai gantinya liquor, mereka menggunakan buah-buahan tropis sebagai “topping” dari coklat-coklat tersebut.
Dari showroom coklat, terus balik ke Melia lagi. Checkout kamarnya Ibu (kamarku sudah dicheckoutkan oleh bu Sapta), terus checkin lagi untuk kamar Standar pesananku.
Yah, jadi akhirnya kami sudah mencoba kamar I-Room, Deluxe (Ibu), dan sekarang Standard. Mau tauk bedanya Standard dengan I-Room/Deluxe? Kalo standard gak ada safety deposit box-nya, terus gak dikasih sendal kamar, bed lamp-nya gak punya switch terpisah (harus nyala dua-duanya atau mati dua-duanya), lokasinya di lantai bawah, selimutnya susah banget ditarik, TV-nya gak flat, tapi langit-langit bathtub-nya lebih tinggi 10 cm, jadi aku gak berasa claustrophobia kalo lagi mandi.
Setelah membereskan urusan check in dan check out, aku dan Ibu segera jalan kaki ke Sungei Wang Plaza untuk mencari hawker yang menjual makanan vegetarian. Hawker tersebut ternyata berada di lantai 4 Sungei Wang Plaza, atau Bukit Bintang Plaza ya?? Hmm.. entahlah, berhubung kedua plaza tersebut saling terinterkoneksi, jadi kadang susah membedakan saat itu kami lagi berada dimana.
Hawker, atau food court tersebut tidak memakai AC, tapi surprisingly enggak panas, karena penuh dengan kipas angin dan langit-langitnya tinggi. Selain itu juga bersih dan cukup nyaman. Stand vegetarian itu mostly terdiri dari sayuran, sedangkan lauk-pauknya hampir semuanya terbuat dari ”Soya” alias kedelai (ini sesuai penjelasan mas-mas yang jualan).
Kami ngambil sepiring nasi dan sepiring penuh lauk-pauk dan sayur. Lauk-pauknya terdiri dari tahu goreng yang lembut banget, kembang tahu gulung bumbu pedas dan manis (rasanya kayak lumpia), terus sesuatu yang kayak daging masak kecap (tapi kalo dilihat dari dekat teksturnya mirip tahu tapi padat), ada lagi sesuatu yang mirip teri kacang tapi ”teri”-nya juga terbuat dari soya. Semua serba soya, yang gak ada hanya tempe. Kalo sayurnya sih standar, yang ijo-ijo gitu deh. Abis itu pesan minuman teh tarik (yummy!) dan susu kedelai. Makanan dan minuman untuk dua orang itu habisnya 7.90 ringgit sajah. Aku baru tauk kalo makanan vegetarian bisa seenak itu deh.... hmmm....
Selesai makan, langsung ke stesen Bukit Bintang, terus naik monorail ke stesen Titiwangsa (ujungnya jalur monorail). Tujuannya adalah Eye on Malaysia.
Eye on Malaysia adalah ”Bianglala” alias Ferris Wheel yang dibuat untuk menyaingi London Eye (katanya). Karena diresmikan bersamaan dengan launching Visit Malaysia 2007, seharusnya Eye on Malaysia ini merupakan landmark dari Visit Malaysia 2007. Jadi, aku pikir sarana transportasi menuju ke tempat itu sudah cukup memadai. Akan tetapi ternyata...
Waktu sampai di stesen Titiwangsa, bingung harus kemana dan naik apa. Menurut info dari internet sih bisa naik bis nomer 121, tapi pas nanya ke petugas RapidKL yang standby di halte, katanya naik bis 114. Terus dia nunjukin jalur tempat bis RapidKL ngetem di dalam terminal. Tapi ternyata butuh nanya ke 3 orang (ke mbak-mbak, anak ABG, dan pak polisi yang gak-pernah-naik-bis-dan-selalu-naik-sepeda) untuk made sure bahwa memang itu jalur yang dimaksud.
Setelah yakin bahwa kami di jalur yang benar pun, ternyata bisnya gak muncul-muncul. Hanya ada 1 bis RapidKL yang ngetem, itupun nomor 101. Abis itu datang 2 lagi. Yang satu nomor 101 juga, satunya lagi gak jelas, yang pasti bukan 121 atau 114.
Akhirnya putus asa dan memutuskan naik taksi saja. Tapi naik taksi pun harus tawar menawar. Kayak naik bajaj aja. Supir taksi di KL gak begitu suka pakek ”meter” alias argo karena tarif taksi di sana tuh keterlaluan murahnya. Sebagai perbandingan, di Jakarta itu tarif bukaannya kan 5000 rupiah ya, itu untuk 1 km pertama, setiap 100 meter berikutnya nambah 250 rupiah. Sedangkan di sana tuh tarif bukaannya 2 ringgit (5400 rupiah), itu untuk 2 km pertama, setiap 200 meter berikutnya nambah 0.10 ringgit (270 rupiah). Artinya tarif taksi di Jakarta hampir 2 kalinya tarif taksi Kuala Lumpur!!
Kembali ke Titiwangsa... si taxi drivernya nawarin 15 ringgit untuk ke Taman Tasik Titiwangsa (tempatnya Eye On Malaysia). Karena gak tauk berapa jauhnya (deket sih sebenernya, dari terminal situ bisa kelihatan Ferris Wheel-nya, tapi kan gak tauk apakah harus lewat jalan memutar atau gimana), kita hanya berani nawar sampe 10 ringgit. Waktu turun di Taman Tasik Titiwangsa, baru tauk kalo ternyata taxi drivernya orang Medan.
Titiwangsa Lake Garden terdiri dari sebuah danau yang dipinggirnya ada ferris wheel tadi. Konon kabarnya tingginya 60 meter ferris wheel itu. Segitu tuh tinggi gak sih? Sebenarnya lebih bagus kalo kita mengunjungi tempat ini malam-malam, karena selain lampu-lampu di downtown sudah pada nyala (Twin Towers Petronas lebih cantik kalo malam) jadi pemandangannya lebih oke, malam hari juga ada pertunjukan laser di Taman Tasik Titiwangsa ini. Tapi... kalo datang malam hari, perlu dipikirkan masalah transportasinya. Siang hari aja transportasi jadi masalah, apalagi kalo malam??
Tiket naik ke Eye on Malaysia harganya 15 ringgit per orang. Hari itu hanya sedikit yang naik bareng kami. Mungkin hanya 4 cabin yang terisi, itupun di cabinku hanya ada aku dan Ibu. Putaran wheel-nya tuh agak-agak pelan gimana gitu loh, sehingga setelah 2 puteran, jadi agak mumet (padahal totally dikasih 4 puteran). View-nya lumayan bagus dari atas, tapi pasti lebih bagus lagi kalo malam, seperti yang kubilang sebelumnya.
Setelah puas naik dan foto-foto, sekarang baru memikirkan cara untuk pulang. Nanya ke Information Counter, ada gak bis yang lewat di depan taman itu... rupanya orangnya gak tauk. Dan dari tadi memang aku gak liat ada bis lewat, kecuali bis city tur Hop-On-Hop-Off. Taksi juga gak ada yang lewat.
Akhirnya aku ngajak jalan kaki aja ke jalan besar. Siapa tahu ntar ketemu taksi, atau gak... ya lama-lama kan sampe juga ke stesen Titiwangsa.... hehehe... tapi untunglah... belum nyampe jalan besar, tepat ketika melintas di dekat tempat pemberhentian taksi, lewatlah sebuah Premiere Taxi yang kosong. Premiere Taxi itu kalo di Jakarta Silver Bird kali yaa.... tarif bukaannya lebih mahal (3 ringgit kalo gak salah), per km-nya juga lebih mahal, tapi taxi drivernya (seorang bapak-bapak India) mau pakek ”meter”. Rupanya untuk menuju stesen Titiwangsa hanya perlu sekitar 8.50 ringgit dengan menggunakan premiere taxi tersebut.
Aku heran sama pemerintah Malaysia... aku pikir Eye on Malaysia itu landmark dari Visit Malaysia 2007, tapi kenapa fasilitas transportasi untuk menuju ke tempat itu gak diperbanyak, biar turis tuh mudah untuk mencapainya...??
Dari stesen Titiwangsa, langsung menuju ke Bukit Bintang lagi. Petualangan mall pun dimulai. Dari mulai Lot 10 (dengan Isetan-nya), Bukit Bintang Plaza (dengan Metrojaya-nya yang menyediakan baju Accent dengan harga diskon yang unbelievable dan surprisingly ukuran standar), sampai ke Sungei Wang Plaza (dengan Parkson Grand, toko-toko baju, toko handicraft, dan Giant).
Pas jamnya makan malam, naik lagi ke hawker di lantai 4, tapi sayangnya kedai yang jual vegetarian food sudah tutup, akhirnya nyoba di sebrangnya ada kedai bernama RMB Curry House. Iseng-iseng mesen Mee Rebus. Harga 2 porsi Mee Rebus + 2 porsi Iced Tea adalah 9 ringgit.
Ternyata yang namanya Mee Rebus India itu adalah campuran mie Aceh dengan Siomay Bandung (kalo kata Ibu mirip toge goreng juga). Terdiri dari mie (tentunya), potongan tahu goreng, potongan gimbal udang (tepung goreng gitu deh), dan toge, bumbunya spicy agak-agak ada rasa kacangnya dikit. Meskipun spicy, Mee Rebus India ini gak bikin kepalaku keringetan seperti halnya mie Aceh.
Selesai makan, terus masuk ke Watsons di Sungei Wang Plaza. Mayan gede juga tuh Watsons-nya. Setelah liat ini, liat itu, akhirnya aku hanya beli paket wax saja... hehehe... karena itu barang jarang di Jakarta. Habis itu ke Giant sebentar, terus balik ke hotel. Dalam perjalanan menuju hotel, kami banyak berpapasan dengan orang-orang yang baru saja mau merayakan 50 tahun Malaysia. Gak seperti di Jakarta yang baru heboh tanggal 17 Agustus pagi, di sini hebohnya pas tengah malam menjelang tanggal 31 Agustus, macamnya New Year’s Eve gitu deh.
Wuuuaaa.... pegel-pegel niiiihhh.... jalannya dah mulai kayak orang habis sirkumsisi, aku kok jadi inget dengkul amoh pas turun dari gunung Huangshan ya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment