Pemerintah China bener-bener niat banget untuk mengembangkan pariwisata negerinya. Hal itu tercermin dalam beberapa hal unik yang aku temui di sana:
1) Pemerintah mewajibkan setiap rombongan tur untuk menggunakan guide local yang memiliki license. Kalo ketauan guide yang memandu tidak punya license, wah... ada sangsinya. Jadinya selama perjalanan kemarin, kita 6 kali ganti guide (di Beijing 2 kali, di Huangshan, Hangzhou, Suzhou, Shanghai masing2 sekali). Dan mengantisipasi banyaknya turis Indonesia, mereka juga menyediakan guide-guide yang bisa berbicara bahasa Indonesia.
2) Semua guide di suatu kota memiliki pengetahuan yang seragam, mungkin ada pendidikan/kursus-nya kali ya sebelum dapet license. Aku merhatiin hal ini waktu rombongan kita bersebelahan sama rombongan tur lain yang guidenya bahasa Inggris. Ternyata mereka bercerita hal yang sama dengan guide kita. Jadi, informasi yang sampai ke wisatawan itu juga seragam. Sebenernya di Indonesia yang seperti ini sudah mulai diterapkan di Bali (menurut Blih Gede loh, guide waktu aku ke Bali).
3) Sepertinya guide-guide local itu diwajibkan untuk membawa wisatawan-nya untuk mengunjungi pusat industri yang ada di kotanya, biar wisatawannya berbelanja. Terbukti deh... setiap ganti guide local, pasti minimal sekali kita dimampirkan ke pusat-pusat industri seperti itu. Pusat industri yang dikunjungi selama di sana:
Beijing: pusat pengobatan tradisional, pabrik batu Giok, pabrik krim 10,000 manfaat,pabrik mutiara sungai, pabrik Cloisonne (guci yang dari tembaga),
Hangzhou: Tea Village (pabrik teh hijau kualitas raja alias Emperor Tea)
Huangshan: pusat perawatan kaki
Suzhou: pabrik Sutra
Shanghai: pabrik patung Singa Kahyangan
4) Wisata ke China = wisata jalan kaki. Kalo yang gak demen jalan kaki dan naik turun tangga, pasti akan menderita. Tempat2 wisatanya begitu luas, dan tempat parkirnya jauh. Jadi wisatawan terpaksa harus banyak berjalan kaki. Ini beberapa barang yang gak boleh lupa untuk dibawa:
- Topi, payung, sunglasses, dan sunblock (terutama saat summer)
- Walking stick!! (sangat membantu untuk naik turun tangga, terutama ketika dengkul-e wis amoh), mau yang dari stainless (mahal), atau kayu (bisa juga RMB 2 harganya, atau Rp 2500,-)
- Air putih (jangan sampe dehidrasi, mesti banyak minum)
- Tissue (buat ngelap keringet, buat ke WC, pokoke berguna banget deh).
5) Buat para wisatawan yang gak bisa bahasa Mandarin, SEBAIKNYA TIDAK NEKAT KE CHINA SENDIRIAN. Harus bawa guide/temen yang bisa bahasa Mandarin. Kita sempet niat mau pergi sendiri, naik taksi. Tapi apa yang terjadi... supir taksinya gak ngerti kita ngomong apa!! Ditunjukin tulisan latin, mereka juga gak bisa baca... maunya huruf kanji... wekss... Kejadian serupa terjadi di airport Soekarno-Hatta. Ada seorang bapak yang menjemput tamu dari Shanghai. Bapak itu membawa kertas dengan tulisan nama si tamu, tapi dengan tulisan latin. Nah... sampe penumpang dari Shanghai udah bubaran (kopernya dah keluar semua), bapak itu masih kebingungan mencari tamunya, sepertinya sih tamunya mungkin gak sadar kalo nama itu adalah nama dia tapi dalam tulisan latin!! Wah, ternyata communication barrier-nya lebih lebar dari yang pernah aku bayangkan. Kalo mau nanya jalan, lebih baik bertanya sama anak2 muda, karena kemungkinan besar anak2 itu sudah mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.
6) Lampu2 Shanghai adalah salah satu bukti keseriusan pemerintah China. Untuk mempertontonkan keindahan gedung2 kota Shanghai di malam hari, pemerintah China mensubsidi ½ dari biaya listrik spotlight-spotlight yang mempercantik gedung2 itu. Nah... dengan spotlight2 itu, terciptalah wisata sungai (cruise di sungai Huang Pu), yang mempertontonkan baik kota lama dan kota baru Shanghai. Yang mau naik kapal, ngantre banget... bayangkan pemasukan yang didapat dari situ.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment