Monday, December 12, 2005

Sidoarjo

Tanggulangin
Dari dulu aku hanya denger cerita tentang Tanggulangin. Akhirnya... sekarang kesampaian juga ke sana. Menurut bu Nia, yang hari ini jadi ”guide” ke Tanggulangin, toko yang koleksinya lumayan ”miyayeni” adalah Mitra atau Purnama. Tapi hari ini kita gak ke sana, kita ke INTAKO, Industri Tas dan Koper, yang harganya lebih murah. Di INTAKO bukannya gak ada yang miyayeni. Ada juga... tapi musti sedikit berusaha mencari. Waktu bu Nia bilang ”miyayeni”, serta merta Irva bertanya: apaan tuh artinya?
Hehehe... akhirnya aku, bu Nia, dan pak Anton (supir mobil sewaan kita) berusaha menjelaskan dengan bahasa Indonesia. Intinya: miyayeni = berkelas, gak kampungan.

Ternyata INTAKO itu tempatnya mblusuk-mblusuk banget... di kampung gitu deh. Parkir aja susye... hmm... gimana kalo hari wiken ya? Pasti penuh banget deh. Di INTAKO, ternyata kita berhasil menemukan yang miyayeni kok. Masalah berikutnya.... gimana bawa pulangnya.... setelah geser sana-geser sini, ternyata muat juga masuk ransel bersama dengan Snoopy dan kamdig...

Toko Tanjung
Toko Tanjung adalah tempat beli oleh-oleh makanan khas Sidoarjo, kerupuk udang, bandeng asap, dsb. Konon kabarnya Bandeng Asep-nya paling toph... tapi sayang... bawaanku sudah banyak, kalo ditambah lagi bandeng asep, artinya nambah tentengan (gak mungkin masuk bagasi kan...).

Airport Juanda
Setidaknya airport ini lebih baik daripada Airport Polonia yang kayak pasar itu. Tapi... yang gak oke adalah pelayanan si Lion. Semua penerbangan Lion terlambat sejam, trus antrean check-in-nya itu loh... wuaahh... gak teratur banget. Udah pelayanannya lambat, banyak yang nyerobot pula. Akhirnya meja check-in penerbangan itu jadi ular naga panjangnya bukan kepalang....

Waktu lagi nunggu, Irva sempet nyeletuk: Asik kali ya, kalo ada artis, lumayan kan... jadi ada pemandangan. Nah, setelah topik ”pemandangan” tadi terlupakan, tiba-tiba lewatlah seorang yang cukup familiar, dan dia seorang artis: Rhoma Irama!! Sendirian aja, gak bawa rombongan seperti selayaknya artis. Tentu saja, dia juga gak bawa gitarnya... Ternyata keinginannya Irva terkabul.

Malang

Kalo ke Yogya buat wisata budaya, ke Malang buat wisata boga. Malang itu katanya Bandung-nya Jawa Timur. Salah satu kemiripan dari dua kota itu adalah masih banyak pohon di pinggir jalan. Trus kalo Bandung punya Lembang, Malang punya Batu. Baik Lembang maupun Batu punya agrowisata masing-masing.

Hotel Montana
Hmm... ini sih bukan termasuk obyek wisata boga, meskipun kata Bulo es krim dan cake-nya enak. Yang jelas hotel ini patut mendapatkan acungan jempol. Pokoknya Te-O-Pe Be-Ge-Te deh... aku puas banget, karena: 1) Kamarnya bersih, cozy. 2) Handuknya wangi. 3) Harganya gak terlalu mahal. 4) Kemaren itu seharusnya dihitung 2 hari, tapi karena aku check-in jam 5 pagi, mereka hanya hitung 1 ½ hari. 5) Bisa dibayar pake credit card tanpa kena persenan pula. 6) Letaknya strategis, di dekat tugu dan balaikota. 7) Tidak berkesan wingit dan tidak penuh tanaman seperti hotel Tugu. 8) Ada warnet dan wartel di sebelah hotel.

Kusuma Agrowisata
Kusuma Agrowisata terletak di kota Batu, sekitar ½ jam perjalanan dari Malang. Kalo Bandung punya Lembang, Malang punya Batu. Aku dan Irva memilih paket yang paling komplit, terdiri dari petik 4 buah strawberry, petik 2 buah apple, puding dan sari strawberry, jus apel dan 1 paket sayuran organik (sawi plus 2 buah cabe paprika)









Pertama, kami dibawa ke kebun petik strawberry yang terletak di dalam rumah kasa. Kebun itu sengaja diberi ”kelambu” supaya serangga tidak masuk, jadi tidak pakai pestisida. Di kebun petik itu ada 2 macam strawberry: Sweet Charlie (yang manis dan buahnya cantik) dan Three Star (kurang manis tapi buahnya besar). Setelah metik strawberry, kami dibawa jalan ke kebun jeruk dan kebun dragon fruit yang kriting kayak octopus. Setelah itu makan puding dan minum sari Strawberry. Hmm... serba strawberry...

Dari kebun strawberry, pindah ke kebun apel. Sebelum tur di kebun apel, minum jus apel dulu sambil liat-liat toko boneka yang ada di pintu masuknya kebun apel. Wah... ada Snoopy, jadi beli 1 deh, Snoopy bertelinga biru. Habis itu jalan-jalan di kebun apel, dipetikin buah ceri sama mas-mas guidenya, terus masuk ke kebun bunga. Uwah... cantik-cantik bunganya... paling naksir sama kastuba yang daunnya jadi merah kalo akhir tahun.









Dari kebun bunga, akhirnya sampai juga di tempat pemetikan apel. Setelah milih-milih.... akhirnya mas-mas guidenya juga yang metikin, abis buah yang bagus posisinya tinggi-tinggi sih. Setelah metik apel, aku belanja produk-produk apel: selai apel dan jenang apel. Kalo apel pie-nya kurang enak. Ekspektasiku adalah apel pie seperti Apple Strudel-nya Cafe Wien, atau minimal seperti apel pie-nya Pia Pie, ternyata... kulitnya terlalu tebal, isi apel-nya juga terlalu kering. Kalo selai apel-nya sih enak. Lumayan sukses deh... Aku sudah coba makan pake roti dengan 2 cara mengolah. Yang pertama, rotinya dipanggang dulu baru dikasih selai. Yang kedua, rotinya dikasih selai dulu, baru dipanggang. Rasanya lain, tapi dua-duanya enak... hehehe...Bisa juga setelah dikasih selai, terus dikasih taburan kayu manis, baru dibakar.

Selecta
Dulu aku dan Irva mengenal Selecta hanya dari permainan monopoli. Penasaran juga, kayak apa sih yang namanya Selecta, kok terkenal banget di monopoli. Tapi sebenernya rada males juga, ada yang bilang gak ada apa-apanya di Selecta, terus ada juga yang bilang kalo Selecta itu salah satu tempat liburannya Presiden Soekarno. Waktu aku tanya: Pemandangannya apa? Jawabannya: Orang mandi. GUBRAK!!

Ternyata... akhirnya semua terjawab setelah kita sampai di sana. Di Selecta memang ada kolam renang yang lumayan gede, makanya ada yang bilang kalo pemandangannya adalah orang mandi. Selain kolam renang itu, obyek lainnya pasar bunga, terus juga vila-vila tua, gak ada lagi.
Mungkin kalo dibikin wisata dugem di situ, atau kafe yang unik, para penggemar dugem dari Malang gak segan-segan berkunjung ke sana. Yah... macemnya orang Bandung pada pergi ke The Peak, atau Kampung Daun lah... sama jauhnya kan?

Bakso Kota Cak Man
Akhirnya... makan bakso malang di kota Malang. Dijamin asli kan? Beberapa hari sebelumnya, aku sempat makan Bakso Malang Karapitan di Sarinah Jakarta. Aku pikir: aku kan mau ke Malang, sebelumnya harus benchmark bakso dulu dengan yang ada di luar kota Malang. Setelah merasakan bakso malang yang asli, aku bisa bilang bahwa ternyata BMK tuh emang kurang otentik. Yah... namanya juga bakso malang tapi bikinan orang Bandung. Namanya orang Jawa, kalo gak makan nasi kurang marem katanya. Masa’ makan bakso pake lontong sih? Padahal kan sudah ada mie... Begini nih.... tampangnya bakso malang yang aku makan. Hihihi... itu lagi kelaparan ceritanya.

Keripik Tempe Bu Noer
Pertama kali makan keripik tempe ini, aku hanya tertarik dengan namanya: Bu Noer. Aku pikir: Lucu sekali keripik tempe ini, namanya sama dengan ibuku dan lima orang saudaranya. Waktu itu aku hanya ngicip sedikit, setelah itu aku taroh di lemari. Ketika aku mencoba mencari lagi, ternyata sudah raib.

Kedua kali makan keripik tempe ini... 2 kantong hampir aku habiskan sendiri. Hehehe... uwenak tenan ternyata, apalagi yang BBQ. Minyaknya nggak tengik pula. Makanya begitu dapat kesempatan ke Malang, aku bertekad untuk beli keripik tempe Bu Noer.

Letaknya emang agak masuk gang yang gak begitu besar. Setelah sedikit kesasar, akhirnya ketemu juga tokonya. Mereka menyediakan keripik tempe aneka rasa, ada rasa BBQ, Keju, Udang, Burger, Spaghetti, Pizza, apalagi ya? Sayangnya kemaren keripik tempe rasa keju-nya habis (wah, pasti enak tuh, makanya habis). Selain keripik tempe, produk mereka yang lain adalah keripik buah-buahan yang dikemas dengan kantong aluminium, supaya gak mudah melempem. Ada keripik apel, keripik nangka, keripik melon, keripik semangka, keripik mangga, keripik nanas, untungnya gak ada keripik rambutan.

Toko Oen
Memasuki toko Oen, serasa memasuki mesin waktu dan kembali ke jaman penjajahan Belanda. Interiornya dijaga supaya tetap berkesan tua, meja-kursinya tua, kordennya model tua, sampe-sampe ada spanduk dalam bahasa Belanda. Menu makanannya dalam bahasa Belanda. Pengunjungnya pun banyak orang-orang Belanda yang sudah tua, mungkin sedang bernostalgia. Rasanya jeans dan t-shirt-ku jadi gak matching dengan suasana toko itu, apalagi kamdig-nya.

Sesuai saran Bulo, kami memesan Sparkling Delight: es krim mocca, es krim vanilla, dicampur dengan potongan buah, kemudian diberi kembang api. Lucu sekali... Mas-masnya sampe menawarkan kembang api baru ketika aku hampir gagal memotret percikan kembang api di atas gelas.

Oya, baik roti maupun es krim yang dijual di toko Oen, merupakan buatan toko itu sendiri, dengan bahan-bahan alami.

Malang Town Square
Dari toko Oen, kami berpindah ke Malang Town Square yang terletak di sebelahnya Taman Makam Pahlawan. Kalo ini sih... mall jaman sekarang, gak jauh beda dengan yang ada di Jakarta. Sudah jauh-jauh ke Malang... tetep aja yang dikunjungi adalah MATAHARI.

Toko Oen lagi
Malamnya... kami mencoba berjalan kaki dari hotel ke Gramedia (di sebelah toko Oen). Hampir aja kesasar di Jl. Brawijaya. Duh, gelap banget pula di jembatan yang ada di Jl. Brawijaya itu, agak-agak horor jadinya. Hmm, jadi diputuskan pulangnya naik angkot saja.

Dari Gramedia, ke Sarinah, setelah capek dan hanya dapat marker (spidol), kami putuskan untuk makan malam. Dimana? Ada McD... atau toko Oen lagi.

Masuklah kami ke toko Oen. Kali ini memesan Bistik Lidah (juga atas anjuran Bulo). Unik banget sih, belum pernah ketemu yang seperti itu sebelumnya. Lidahnya dipanggang garing, kemudian diberi saus coklat muda (kayaknya sih mushroom sauce atau sejenisnya).

Tugu dan Balaikota Malang







Sebelum beranjak ke Surabaya, sempat jalan-jalan dulu di Tugu yang terletak di depannya Balaikota Malang. Di kolam yang mengelilingi Tugu, banyak sekali bunga teratai, cantik banget. Ternyata... nyebrang di Tugu itu susahnya bukan main, banyak banget mobil dan kenceng-kenceng pula. Harusnya aku bisa nyebrang langsung ke depan hotel Tugu, akhirnya nyebrang dulu ke depan Balaikota, baru abis itu nyebrang jalan ... ke depan hotel Tugu.

Yogyakarta

Banyak tema yang bisa diambil dari kunjungan ke Yogya, misalnya wisata belanja, wisata boga, wisata adventure, wisata pendidikan, dll. Tema yang kupilih kali ini adalah wisata budaya.

Pariwisata di Yogya sudah banyak berkembang sejak terakhir kali aku mengunjungi obyek-obyek wisata unggulan di sana bersama SMP 41 (kira-kira 10 tahun yang lalu). Sekarang ini sudah lebih teratur, informatif dan juga terstandarisasi, seperti yang aku lihat di China.

Obyek pertama yang dikunjungi adalah tempat kerajinan perak Kotagede. Dalam perjalanan menuju Kotagede, kita melewati daerah Glagah Sari. Konon di daerah itu banyak sekali kampus. Hmm... mungkin sejenis jl.Dipati Ukur di Bandung, daerah Salemba di Jakarta, atau jl.Margonda di Depok. Ketiganya juga berisi kampus, kampus, dan kampus.

HS Silver, Kotagede
Begitu turun dari mobil, mas Ghani menyerahkan kami pada guide-nya HS Silver. Sebelum melihat-lihat isi toko, kami diberi penjelasan dulu mengenai cara pembuatan perak. Sayangnya karena hari itu adalah Minggu Sore, jadi para pengrajin banyak yang libur, atau sudah pulang, hanya terlihat 3 orang yang bekerja. Terpaksa penjelasan diberikan lewat foto-foto yang memang dipasang untuk mengantisipasi keadaan seperti itu.

Kami sempat menonton bapak-bapak yang sedang menyolder. Duh, bapak itu sudah lumayan tua, tapi matanya masih awas banget. Barang-barang yang dia solder itu mungil-mungil banget. Nah, menurut mas-mas guide HS, menyolder itu adalah pekerjaan yang paling susah untuk dipelajari dalam tahapan pembuatan perak. Untuk belajar menyolder, dibutuhkan waktu yang sama dengan.... kuliah S1! Wah...wah... lama juga ya.

Sendratari Ramayana
Pertunjukan sendratari Ramayana yang paling nge-top ada di Candi Prambanan, tapi mereka hanya pentas sekitar bulan April-Oktober saja setiap tahunnya. Malam itu, kami menonton Ramayana di Purawisata.

Sebelum acara mulai, kami makan malam dulu di restonya. Makanan disajikan secara buffet. Rasanya sih enak, tapi kombinasinya agak aneh: makanan barat, campur Jawa, dan campur lagi dengan Padang. Ada sup ayam dengan roti, salad, kentang goreng, nasi goreng, gudeg, gado-gado, udang goreng tepung, bakwan, sate, balado terong. Jadi bingung mau makan apa...

Sambil makan, kami disuguhi gending Jawa yang dimainkan secara live, juga sedikit tari-tarian. Gak lupa foto-foto sama para performernya. Setelah makan, kami masuk ke teater terbuka untuk nonton Ramayana. Untungnya hari itu gak hujan, denger-denger sih Purawisata sudah langganan pawang hujan.

Koreografinya oke banget, cukup dinamis lah. Apalagi Hanoman-nya, bisa debus kali ya... dia sempat menggulung-gulung dirinya di atas api pas babak Hanoman Obong. Karakter favorit malam itu adalah Kumbokarno dengan badannya yang tinggi dan rambutnya yang terjuntai-juntai. Sayangnya pas sesi foto, yang ada hanya Rahwana, Rama, Shinta, dan Hanoman.

Pertunjukan berlangsung selama 1 ½ jam. Di antara penonton, mungkin hanya aku dan Irva yang orang Indonesia, sisanya bule atau orang Jepang. Makanya narasi juga dibawakan dalam bahasa Inggris. Kalo ilustrasi musik sih, tetep bahasa Jawa donk.

Candi Borobudur
Perjalanan dari Yogya ke Borobudur memakan waktu nggak sampai 1 jam. Taman wisatanya jauh lebih rapih dibandingkan 10 tahun yang lalu. Borobudurnya sendiri gak banyak berubah.

Mas Ghani sempat menjelaskan sedikit tentang cerita kelahiran Buddha yang ada di relief level pertamanya Rupadhattu. Setelah itu kita langsung naik ke tingkat Arupadhattu yang penuh dengan stupa-stupa.

Kami sempat mencoba mencolek arca Kuntobimo. Konon kabarnya arca Kuntobimo ini dipercaya membawa keberuntungan. Ketika terjadi peledakan Candi Borobudur tahun 1985, arca Kuntobimo termasuk salah satu tempat yang dipasangi dinamit, tapi entah mengapa dinamit tersebut tidak ikut meledak.

Untuk mencolek arca Kuntobimo, ternyata gak sembarangan mencolek. Para laki-laki harus mencolek jari manisnya, sedangkan perempuan mencolek tumit kirinya. Para pengunjung beramai-ramai mencoba memasukkan tangannya ke sela-sela stupa Kuntobimo untuk mencolek arca Kuntobimo yang ada di dalamnya.

Kraton Yogyakarta
Di kraton Yogyakarta, kami dititipkan pada guide kraton yang bernama pak Gito. Penjelasan yang diberikan kepada setiap pengunjung sudah distandarisasi, baik dari segi urutan, maupun content-nya. Mereka juga menyediakan guide dalam berbagai bahasa.

Dulu aku tidak bisa menikmati kunjungan ke kraton, karena bagiku hanya lihat-lihat ruangan saja. Tapi sekarang sudah berbeda, para guide di kraton dapat memberikan penjelasan yang mendalam dan dilengkapi dengan cerita-cerita menarik.

Sultan HB yang sekarang ternyata tinggal di keputren, karena kebetulan anaknya perempuan semua. Kata pak Gito, keputrennya sudah disulap jadi tempat tinggal modern, wong ada lapangan tenis segala. Tapi tentu saja... para pengunjung tidak diijinkan untuk melihat keputren tersebut.

Mas Ghani sempat menjelaskan tentang tanah-tanah pemberian Sultan kepada para abdi dalem dan juga kepada pemerintah dan masyarakat sekitar. Ada 1 ketentuan yang menyatakan bahwa tanah yang diberikan oleh Sultan itu tidak boleh dijual. Diwariskan, disewakan, dipinjamkan, dipakai untuk usaha, semua boleh-boleh saja, asal tidak dijual.

Namun ada juga yang tidak menggubris ketentuan itu. Tanah di jl.Malioboro sebenarnya adalah wakaf dari Sultan, seharusnya tidak boleh dijual. Tapi ada kasus dimana pedagang memperjual-belikan petak tanahnya di Malioboro sebesar 2x3 m2 seharga Rp.25 Juta!!

Candi Prambanan
Candi ini memang cantik. Dulu aku selalu melihatnya minimal setahun sekali, setiap melintas jalan Yogya-Solo, ketika mudik lebaran naik mobil. Tapi beberapa tahun terakhir ini sudah agak jarang. Mudik lebaran sudah tidak naik mobil lagi, atau kalaupun naik mobil tidak lewat Yogya.

Di candi ini, mas Ghani mengajak kita berkeliling di candi Siwa dan candi Brahma, dan bercerita tentang kisah Ramayana yang ada di relief kedua candi tersebut. Ternyata... ada sedikit perbedaan antara Ramayana versi Sendratari dan Ramayana versi relief Candi Prambanan.

Ramayana versi Sendratari adalah seperti Ramayana yang selama ini aku kenal. Cerita diakhiri dengan babak Shinta Obong, dimana Shinta diceburkan ke lautan api untuk mengetes kesuciannya. Bilamana Shinta masih suci, dia tidak akan terbakar. Sebaliknya, bilamana Shinta sudah dinodai oleh Rahwana, maka dia akan terbakar.

Tidak demikian halnya dalam Ramayana versi Relief Prambanan. Di versi Relief, setelah berhasil membunuh Rahwana, Rama dan Shinta bertemu kembali. Tapi ternyata Shinta dalam keadaan hamil. Karena merasa Shinta sudah tidak suci lagi, Rama membuang Shinta ke hutan. Padahal sebenarnya, ketika diculik oleh Rahwana, Shinta tengah hamil muda, mengandung anak Rama. Di hutan, Shinta melahirkan anak kembar, kedua anak tersebut dirawat oleh Shinta bersama-sama dengan pertapa Walmiki. 12 tahun kemudian, Shinta meninggal. Ketika kedua anak tersebut berumur 19 tahun, pertapa Walmiki membawa kedua anak tersebut ke hadapan Rama. Rama, yang akhirnya menyadari kekhilafannya, menyerahkan mahkotanya ke salah satu anaknya itu. Shinta dan Rama baru bertemu lagi di surga, setelah Rama meninggal. Yah, sedikit tragis memang, dan juga agak mirip sinetron.

Malioboro
Rasanya nggak komplit kalo ke Yogya tanpa mengunjungi Malioboro. Malioboro, terutama Pasar Beringharjo-nya, merupakan salah satu kawasan wisata belanja yang paling asik. Kuncinya adalah kita harus tahu harga dan sedikit tega dalam menawar barang.

Sayangnya karena kita terlalu sore, pasar Beringharjo sudah tutup. Jadi ya sudah... kami ke Mirota saja. Harga batik di Mirota memang lebih tinggi dibandingkan di pasar Beringharjo, tapi selisihnya nggak banyak banget. Mereka tidak terlalu me-markup harga.

Ngomong-ngomong batik nih, katanya orang Solo lebih konservatif dibandingkan orang Yogya... Hal itu kelihatan dari cara berpakaiannya. Batik Yogya warnanya lebih berani dibandingkan batik Solo. Batik Yogya banyak yang warna terang, bahkan ada juga yang biru, sedangkan batik Solo cenderung coklat, coklat, dan coklat. Cara melipat (wiron) kainnya juga berbeda... lipatan (wiru) kain Yogya lidah kainnya kelihatan, sedangkan lipatan kain Solo lidah kainnya disembunyikan.

Warna atasan pakaian pria (beskap) juga berbeda, kalo Yogya lebih warna-warni, malahan Bapak pernah pakai yang warna ungu dan krem, bahannya juga bisa macem-macem. Sedangkan Solo paling-paling hitam, coklat, bahannya juga hanya bahan jas. Btw, atasan pria ala Yogya itu ada yang namanya Sogok Upil. Waktu aku tanyakan kenapa namanya begitu? Begini jawabannya, bagian depan pakaian itu, sudutnya sangat lancip. Nah, karena lancipnya itu, jadi bisa buat ngupil. Entahlah, jawaban itu joke atau bukan...

Kereta Api Argo Willis

Dari Bandung ke Yogya naik apa? Ada 2 pilihan yang sempat aku pertimbangkan:
1.) Ke Jakarta dulu terus naik pesawat ke Yogya.
2.) Naik KA Argo Wilis.

Akhirnya aku pilih Argo Wilis. Karena menurut pengalamanku, kereta ini jarang telat. Sekitar 4 tahun lalu, aku naik kereta itu. Waktu itu sampai di Solo sekitar jam 14.15. Artinya sampai di Yogya sekitar jam 13.

Kali ini, ternyata di tiket KA tertulis jadwal sampai di Yogya adalah jam 13.55, hmm... kok? Lama betul ya....

Hari Minggu, 29 November 2005, berangkatlah aku dengan KA Argo Wilis dari stasiun Bandung, tepat jam 7 pagi. Perjalanan cukup lancar, meskipun lebih sering berhenti dibandingkan 4 tahun yang lalu. Mungkin karena itu jadwalnya jadi mundur.

Tapi... sekitar jam 9.15, kereta berhenti di stasiun Cipendeuy... dan tidak bergerak selama lebih dari 1 jam. Wah... kok begini ya? Ternyata... gerbong paling belakang rangkaian Argo Wilis itu, patah as rodanya.

Terpaksa menunggu kereta Lodaya (yang berangkat jam 8 dari Bandung) tiba di stasiun Cipendeuy itu. Kereta Lodaya yang kebetulan hari itu tidak terlalu penuh meninggalkan 1 gerbong kelas Bisnis-nya, kemudian meneruskan perjalanan.

Setelah Lodaya pergi (wah, kok jadi disusul sama Lodaya ya...), Argo Wilis mengganti gerbong paling belakangnya dengan gerbong kelas Bisnis yang ditinggalkan Lodaya. Jadi para penumpang yang ada di gerbong paling belakang itu pindah ke gerbong kelas Bisnis. Selisih harga tiket kelas Bisnis dengan kelas Argo dikembalikan ke para penumpang itu. Wah... bete juga kali ya, sudah membayangkan adem-ademan di Argo Wilis, ealah... ternyata naik kelas Bisnis juga... hehe.. tapi yang penting selamat.

Di tengah-tengah penantian yang tak kunjung berakhir itu, aku sempet mikir: kenapa aku gak milih naik pesawat aja yah... tapi ya sudah, mungkin aku memang harus dapat pengalaman unik ini.

Setelah berhenti sekitar 1 ½ jam, Argo Wilis pun meneruskan perjalanan. Seolah-olah ngejar waktu yang tadi dihabiskan di stasiun Cipendeuy, di antara stasiun Banjar dan Kroya, kereta itu ngebut gila-gilaan. Mau makan siang aja susah, karena nampan makanannya goyang-goyang.

Oya, rasanya dulu kursi penumpang di kereta api kelas Argo tuh dilengkapi dengan meja lipat deh, tapi sekarang enggak ada sehingga kita terpaksa harus memangku makanannya.

Jam 15 .55, sampai juga di stasiun Tugu, telatnya pas 2 jam dari jadwal yang tertera di tiket, dan 3 jam dari perkiraanku. Irva dan mas Ghani (guide kita) sudah menunggu di sana.

Offline Journal-ku

Ini catatan perjalananku yang terbaru. Kubeli di Pasar Balubur, Bandung, sehari sebelum berangkat ke Yogyakarta.

Mencari benda seperti itu bukan hal mudah di Pasar Balubur. Kebanyakan block note yang mereka jual dijilid biasa, kalopun ada yang dijilid ring, ukurannya terlalu besar untuk masuk ke tas.

Setelah bertanya-tanya ke beberapa toko, akhirnya ada juga benda yang sesuai dengan spec-ku: kecil, jilid ring, bergaris-garis, cover cukup kuat.