Monday, December 12, 2005

Yogyakarta

Banyak tema yang bisa diambil dari kunjungan ke Yogya, misalnya wisata belanja, wisata boga, wisata adventure, wisata pendidikan, dll. Tema yang kupilih kali ini adalah wisata budaya.

Pariwisata di Yogya sudah banyak berkembang sejak terakhir kali aku mengunjungi obyek-obyek wisata unggulan di sana bersama SMP 41 (kira-kira 10 tahun yang lalu). Sekarang ini sudah lebih teratur, informatif dan juga terstandarisasi, seperti yang aku lihat di China.

Obyek pertama yang dikunjungi adalah tempat kerajinan perak Kotagede. Dalam perjalanan menuju Kotagede, kita melewati daerah Glagah Sari. Konon di daerah itu banyak sekali kampus. Hmm... mungkin sejenis jl.Dipati Ukur di Bandung, daerah Salemba di Jakarta, atau jl.Margonda di Depok. Ketiganya juga berisi kampus, kampus, dan kampus.

HS Silver, Kotagede
Begitu turun dari mobil, mas Ghani menyerahkan kami pada guide-nya HS Silver. Sebelum melihat-lihat isi toko, kami diberi penjelasan dulu mengenai cara pembuatan perak. Sayangnya karena hari itu adalah Minggu Sore, jadi para pengrajin banyak yang libur, atau sudah pulang, hanya terlihat 3 orang yang bekerja. Terpaksa penjelasan diberikan lewat foto-foto yang memang dipasang untuk mengantisipasi keadaan seperti itu.

Kami sempat menonton bapak-bapak yang sedang menyolder. Duh, bapak itu sudah lumayan tua, tapi matanya masih awas banget. Barang-barang yang dia solder itu mungil-mungil banget. Nah, menurut mas-mas guide HS, menyolder itu adalah pekerjaan yang paling susah untuk dipelajari dalam tahapan pembuatan perak. Untuk belajar menyolder, dibutuhkan waktu yang sama dengan.... kuliah S1! Wah...wah... lama juga ya.

Sendratari Ramayana
Pertunjukan sendratari Ramayana yang paling nge-top ada di Candi Prambanan, tapi mereka hanya pentas sekitar bulan April-Oktober saja setiap tahunnya. Malam itu, kami menonton Ramayana di Purawisata.

Sebelum acara mulai, kami makan malam dulu di restonya. Makanan disajikan secara buffet. Rasanya sih enak, tapi kombinasinya agak aneh: makanan barat, campur Jawa, dan campur lagi dengan Padang. Ada sup ayam dengan roti, salad, kentang goreng, nasi goreng, gudeg, gado-gado, udang goreng tepung, bakwan, sate, balado terong. Jadi bingung mau makan apa...

Sambil makan, kami disuguhi gending Jawa yang dimainkan secara live, juga sedikit tari-tarian. Gak lupa foto-foto sama para performernya. Setelah makan, kami masuk ke teater terbuka untuk nonton Ramayana. Untungnya hari itu gak hujan, denger-denger sih Purawisata sudah langganan pawang hujan.

Koreografinya oke banget, cukup dinamis lah. Apalagi Hanoman-nya, bisa debus kali ya... dia sempat menggulung-gulung dirinya di atas api pas babak Hanoman Obong. Karakter favorit malam itu adalah Kumbokarno dengan badannya yang tinggi dan rambutnya yang terjuntai-juntai. Sayangnya pas sesi foto, yang ada hanya Rahwana, Rama, Shinta, dan Hanoman.

Pertunjukan berlangsung selama 1 ½ jam. Di antara penonton, mungkin hanya aku dan Irva yang orang Indonesia, sisanya bule atau orang Jepang. Makanya narasi juga dibawakan dalam bahasa Inggris. Kalo ilustrasi musik sih, tetep bahasa Jawa donk.

Candi Borobudur
Perjalanan dari Yogya ke Borobudur memakan waktu nggak sampai 1 jam. Taman wisatanya jauh lebih rapih dibandingkan 10 tahun yang lalu. Borobudurnya sendiri gak banyak berubah.

Mas Ghani sempat menjelaskan sedikit tentang cerita kelahiran Buddha yang ada di relief level pertamanya Rupadhattu. Setelah itu kita langsung naik ke tingkat Arupadhattu yang penuh dengan stupa-stupa.

Kami sempat mencoba mencolek arca Kuntobimo. Konon kabarnya arca Kuntobimo ini dipercaya membawa keberuntungan. Ketika terjadi peledakan Candi Borobudur tahun 1985, arca Kuntobimo termasuk salah satu tempat yang dipasangi dinamit, tapi entah mengapa dinamit tersebut tidak ikut meledak.

Untuk mencolek arca Kuntobimo, ternyata gak sembarangan mencolek. Para laki-laki harus mencolek jari manisnya, sedangkan perempuan mencolek tumit kirinya. Para pengunjung beramai-ramai mencoba memasukkan tangannya ke sela-sela stupa Kuntobimo untuk mencolek arca Kuntobimo yang ada di dalamnya.

Kraton Yogyakarta
Di kraton Yogyakarta, kami dititipkan pada guide kraton yang bernama pak Gito. Penjelasan yang diberikan kepada setiap pengunjung sudah distandarisasi, baik dari segi urutan, maupun content-nya. Mereka juga menyediakan guide dalam berbagai bahasa.

Dulu aku tidak bisa menikmati kunjungan ke kraton, karena bagiku hanya lihat-lihat ruangan saja. Tapi sekarang sudah berbeda, para guide di kraton dapat memberikan penjelasan yang mendalam dan dilengkapi dengan cerita-cerita menarik.

Sultan HB yang sekarang ternyata tinggal di keputren, karena kebetulan anaknya perempuan semua. Kata pak Gito, keputrennya sudah disulap jadi tempat tinggal modern, wong ada lapangan tenis segala. Tapi tentu saja... para pengunjung tidak diijinkan untuk melihat keputren tersebut.

Mas Ghani sempat menjelaskan tentang tanah-tanah pemberian Sultan kepada para abdi dalem dan juga kepada pemerintah dan masyarakat sekitar. Ada 1 ketentuan yang menyatakan bahwa tanah yang diberikan oleh Sultan itu tidak boleh dijual. Diwariskan, disewakan, dipinjamkan, dipakai untuk usaha, semua boleh-boleh saja, asal tidak dijual.

Namun ada juga yang tidak menggubris ketentuan itu. Tanah di jl.Malioboro sebenarnya adalah wakaf dari Sultan, seharusnya tidak boleh dijual. Tapi ada kasus dimana pedagang memperjual-belikan petak tanahnya di Malioboro sebesar 2x3 m2 seharga Rp.25 Juta!!

Candi Prambanan
Candi ini memang cantik. Dulu aku selalu melihatnya minimal setahun sekali, setiap melintas jalan Yogya-Solo, ketika mudik lebaran naik mobil. Tapi beberapa tahun terakhir ini sudah agak jarang. Mudik lebaran sudah tidak naik mobil lagi, atau kalaupun naik mobil tidak lewat Yogya.

Di candi ini, mas Ghani mengajak kita berkeliling di candi Siwa dan candi Brahma, dan bercerita tentang kisah Ramayana yang ada di relief kedua candi tersebut. Ternyata... ada sedikit perbedaan antara Ramayana versi Sendratari dan Ramayana versi relief Candi Prambanan.

Ramayana versi Sendratari adalah seperti Ramayana yang selama ini aku kenal. Cerita diakhiri dengan babak Shinta Obong, dimana Shinta diceburkan ke lautan api untuk mengetes kesuciannya. Bilamana Shinta masih suci, dia tidak akan terbakar. Sebaliknya, bilamana Shinta sudah dinodai oleh Rahwana, maka dia akan terbakar.

Tidak demikian halnya dalam Ramayana versi Relief Prambanan. Di versi Relief, setelah berhasil membunuh Rahwana, Rama dan Shinta bertemu kembali. Tapi ternyata Shinta dalam keadaan hamil. Karena merasa Shinta sudah tidak suci lagi, Rama membuang Shinta ke hutan. Padahal sebenarnya, ketika diculik oleh Rahwana, Shinta tengah hamil muda, mengandung anak Rama. Di hutan, Shinta melahirkan anak kembar, kedua anak tersebut dirawat oleh Shinta bersama-sama dengan pertapa Walmiki. 12 tahun kemudian, Shinta meninggal. Ketika kedua anak tersebut berumur 19 tahun, pertapa Walmiki membawa kedua anak tersebut ke hadapan Rama. Rama, yang akhirnya menyadari kekhilafannya, menyerahkan mahkotanya ke salah satu anaknya itu. Shinta dan Rama baru bertemu lagi di surga, setelah Rama meninggal. Yah, sedikit tragis memang, dan juga agak mirip sinetron.

Malioboro
Rasanya nggak komplit kalo ke Yogya tanpa mengunjungi Malioboro. Malioboro, terutama Pasar Beringharjo-nya, merupakan salah satu kawasan wisata belanja yang paling asik. Kuncinya adalah kita harus tahu harga dan sedikit tega dalam menawar barang.

Sayangnya karena kita terlalu sore, pasar Beringharjo sudah tutup. Jadi ya sudah... kami ke Mirota saja. Harga batik di Mirota memang lebih tinggi dibandingkan di pasar Beringharjo, tapi selisihnya nggak banyak banget. Mereka tidak terlalu me-markup harga.

Ngomong-ngomong batik nih, katanya orang Solo lebih konservatif dibandingkan orang Yogya... Hal itu kelihatan dari cara berpakaiannya. Batik Yogya warnanya lebih berani dibandingkan batik Solo. Batik Yogya banyak yang warna terang, bahkan ada juga yang biru, sedangkan batik Solo cenderung coklat, coklat, dan coklat. Cara melipat (wiron) kainnya juga berbeda... lipatan (wiru) kain Yogya lidah kainnya kelihatan, sedangkan lipatan kain Solo lidah kainnya disembunyikan.

Warna atasan pakaian pria (beskap) juga berbeda, kalo Yogya lebih warna-warni, malahan Bapak pernah pakai yang warna ungu dan krem, bahannya juga bisa macem-macem. Sedangkan Solo paling-paling hitam, coklat, bahannya juga hanya bahan jas. Btw, atasan pria ala Yogya itu ada yang namanya Sogok Upil. Waktu aku tanyakan kenapa namanya begitu? Begini jawabannya, bagian depan pakaian itu, sudutnya sangat lancip. Nah, karena lancipnya itu, jadi bisa buat ngupil. Entahlah, jawaban itu joke atau bukan...

No comments: