Saturday, November 22, 2008

Sydney Trip: Prologue

13 tahun lalu, seorang anak ABG terkagum-kagum lihat Australia, maklum lah itu pertama kalinya melihat secara langsung negeri orang lain. ABG tersebut berniat suatu hari ingin kembali lagi ke Australia….

Ternyata ABG yang sekarang sudah tidak ABG lagi namun kadang masih berpenampilan seperti ABG tersebut akhirnya dapat kesempatan untuk ke Australia lagi dalam sebuah kunjungan dinas.

Inilah kisahnya:


Minggu 26 Oktober 2008
Aku pergi ke Sydney bersama 4 orang lainnya: Pak Yus, Pak Mahyudin, Iqbal, dan Pak Djoni. Kami berangkat pada tanggal 26 Oktober 2008 dengan penerbangan Qantas QF-42 yang berangkat pada jam 20.45.

Waktu tiba di Bandara Soekarno-Hatta jam 18.20, baru ada pak Yus dan pak Djoni. Aku dan pak Yus langsung masuk untuk check-in dan blocking tempat untuk yang lain. Setelah yang lain datang, baru bayar fiscal dan lewat imigrasi. Ternyata, bayar fiscal pakai kartu kredit itu kena charge Rp.4000 ya.

Aku sempet tertarik mau beli peta Periplus-nya Sydney, tapi mengurungkan niatku karena yang lain terus aja jalan menuju Ruang Tunggu Keberangkatan. Sebelum masuk ruang tunggu, tas kami digeledah. Setelah itu sempat duduk-duduk menunggu dipanggil boarding.

Sambil ngobrol, aku segera menyetel jam HP-ku dan jam tangan menjadi 4 jam lebih cepat sesuai dengan waktu yang berlaku di Sydney pada saat itu. Itu merupakan salah satu upayaku untuk memperkecil resiko jet lag. Jadi dari sebelum berangkat kita sudah men-set pikiran kita dengan waktu setempat daerah tujuan kita. Usaha lainnya tentu saja: tidur yang enak selama di pesawat, sampe ngiler kalo perlu. :-D Aku membawa bantal tiup Wonder Pillow untuk menunjang usahaku itu.

Penerbangan QF-42 menggunakan pesawat 767-338. Aku duduk di kursi 54J seharusnya, tapi akhirnya bertukar tempat dengan pak Yus dan duduk di 54K. Hmm… lumayan, dibagikan peralatan tidur, salah satunya adalah kaos kaki… jadi gak takut jempolnya kedinginan ntar kalau tidur (dari semua jenis baju, kaos kaki yang paling sering ketinggalan kalo pergi). Nah, sekarang masalahnya adalah… aku lapar… lapar banget.

Untunglah mereka membagikan daftar menu makanan, meskipun makanan dibagikan nanti setelah pesawat berada dalam ketinggian jelajah, tapi lumayan kan… jadi memberikan harapan dalam kelaparan.

Malam ini aku makan: Ikan Ukep dengan Saus Santan dengan Nasi Kukus dan Tumis Sayuran (bilang aja: gulai ikan…) dengan dessert Ketela Rambat dan Agar-agar Karamel (bilang aja: pudding kolak). Untuk minumnya aku pilih susu dingin, biar tidur nyenyak ceritanya. Teh panas pun aku campur dengan susu (pakek acara susunya nyemprot dikit ke jeans pula, dasar Gita…).

Selesai makan, pak Yus pindah ke kursi depanku yang ternyata kosong. Dan aku pun tiiiiddduuuurrrr dengan nikmatnya. Cuman kebangun dua kali, tapi itupun hanya beberapa detik, abis itu langsung tidur lagi. Pokoknya cita-citaku untuk tidur demi menghindari jet lag terkabul lah…

Sydney Trip: Day 1

Senin, 27 November 2008
Aku terbangun ketika pesawatnya sedang menyongsong fajar, lebih kurang jam 6 waktu Sydney. Hmm… memang selalu keliatan keren, meskipun sudah pernah liat sebelumnya, tapi tetep deh…garis merah di cakrawala itu indah banget… Garis merah itu lama-lama jadi kuning dan kemudian, bingo! Terang deh...

Sydney masih 1 ½ jam lagi, kira-kira kami berada di atas Broken Hill or something, kalau liat ke bawah pemandangannya sawah (bukan gurun). Seingatku dulu ketika terbang dari Sydney, pemandangan di bawah kebanyakan gurun. Gak salah nih? Kami dibangunkan untuk dibagi handuk panas dan makanan ringan berupa muffin yang rasanya gak jelas. Di TV, mereka memutar acara sekilas info mengenai Sydney. Aha... yah... mereka kan maskapai Australia, wajar bukan kalo muter video tentang kota-kota mereka?

Ketika akhirnya mendarat di bandara Kingsford Smith, Sydney, jam 7.45... aku mulai agak-agak curiga. Kok? Panas? Padahal kemaren-kemaren liat laporan cuaca Sydney di google suhu berkisaran pada belasan-belasan derajat celcius.

Waktu lewat di garbarata, aku masih juga bengong liat cuaca hari itu yang mirip Surabaya itu. Belakangan aku baru tauk, kalo cuaca cerah banget itu sebenarnya berkah buat kami. Info dari Ndulo, usaha lain untuk menghindari jet lag adalah mengekspose diri sebanyak-banyaknya ke bawah sinar matahari, karena sinar matahari akan menghambat terbentuknya melatonin yang menyebabkan teler, ngantuk, dst.

Airport Kingsford Smith itu agak-agak jorok interiornya. Bukan jorok dalam artian kotor, tapi gak rapi… di langit-langit keliatan kabel berseliweran, berdampingan dengan saluran AC. Di imigrasi cukup ngantre, tapi gak terlalu heboh ngantrenya, jadi dalam waktu relative singkat kami sudah berada di samping conveyor bagasi. Koper kami juga gak lama keluarnya… Nah, yang lama adalah ngantre di pemeriksaan bea cukai…

Setelah lepas dari bea cukai, pak Yus dan Iqbal tukar-tukar uang dulu di money changer. Sementara pak Djoni ngobrol sama orang Indonesia yang kebetulan mau jemput temannya.

Karena tidak ada yang jemput, kami pun memutuskan naik kereta untuk mencapai hotel Travelodge. Mulailah aku, dengan rada-rada sok tauk, jadi navigator dari kelompok kecil kami itu. Kenapa aku bisa sok tauk? Karena 2 malam sebelumnya sudah mengenyangkan diri dengan info-info dari http://www.131500.info/.


Naik kereta dari International Airport ke stasiun Museum biayanya A$14.60. Karena kebanyakan uang kami masih pecahan 50an atau malah 100an, sedangkan ticket vending machine-nya maksimal hanya bisa mengeluarkan kembalian sebesar A$19.90, terpaksa pinjam meminjam uang dulu untuk beli tiket.


Turun ke platform kereta, dan kemudian naik kereta, tidak ada masalah yang berarti, untuk menuju platform disediakan escalator. Sempet takjub lihat gerbong kereta yang ternyata punya 3 level. 1 level di tengah tempat penumpang keluar masuk, kemudian 2 level atas dan bawah tempat penumpang duduk menikmati perjalanan. Di level tengah disediakan tempat duduk juga sih, tapi hanya sedikit. Kami memilih duduk di level tengah karena lebih lapang untuk meletakkan koper-koper kami.

Sampai di Stasiun Museum, aku kembali sok tauk… segera membawa rombongan menuju pintu keluar Liverpool Street. Tapi… ternyata di Stasiun Museum itu tidak tersedia lift ataupun escalator, jadi terpaksa angkat-angkat koper sambil mendaki tangga. Dengan polosnya ketika lewat pintu tiket, kami lewat di pintu orang, bukan pintu “orang+barang”. Jadi kopernya agak2 sempet kejepit…hehehe… Untung saja kopernya hanya terisi setengah penuh.

Keluar dari Stasiun Museum, aku berusaha mengingat-ingat gambar peta yang dua malam sebelumnya aku lihat di internet tapi gak sempat aku cetak… Kemudian membawa rombongan menyusuri Elizabeth Street, Goulburn Street, dan menemukan Wenthworth Avenue, tempat hotel Travelodge Sydney berada. Sempet sekali salah belok. Tapi untung cepet sadar untuk kembali ke jalan yang benar… lumayan lah… secara petanya berdasarkan ingatan doang.

Di Hotel, kami melakukan prosedur “pre-check-in”. Seperti biasa, masuk hotelnya baru boleh jam 2 siang, tapi kita udah check in dulu, supaya ketika sudah waktunya… bisa tinggal ngambil kunci aja. Waktu Iqbal dan pak Djoni lagi sibuk daftar dilayani staf front office hotel bernama Mbak Novi yang ternyata berasal dari Medan, aku melakukan ritual penyegaran pagi-pagi, alias cuci muka, sisiran, dan ke toilet. Saat itu kan kami dalam keadaan belum mandi. Berhubung mau langsung jalan-jalan, setidaknya harus dandan dulu, biar seger dan gak kebawa ngantuk. Selesai dandan, aku menyimpan laptop dan jaket ke dalam koper, kemudian kami semua menitipkan koper ke concierge.

Kami berjalan kembali menuju stasiun Museum. Kemudian mempelajari sebentar tentang tiket Travel Pass. Aku berhasil meyakinkan yang lain untuk membeli Green Travel Pass seharga $43, karena tiket tersebut mencakup stasiun terdekat ke kantornya Avaya yang besok akan kami kunjungi: Epping. Tiket Travel Pass itu berfungsi sebagai sejenis ”tiket terusan” yang berlaku selama 7 hari untuk naik kereta, bus, dan ferry di area tertentu seputaran Sydney. Luasnya area cakupan tiket tersebut bergantung pada jenis dan harga tiket yang ditandai dengan warna. Yang paling murah adalah warna Merah, harganya $35. Tiket Hijau yang kami beli adalah yang kedua termurah dengan cakupan yang lebih luas. Kalau kita memang berencana untuk banyak menggunakan ketiga kendaraan umum tersebut selama berada di Sydney, Travel Pass itu sangat ekonomis dibandingkan beli tiket ketengan.

Kami langsung menggunakan tiket tersebut untuk naik kereta ke Circular Quay, yang jaraknya hanya 2 stasiun dari Museum. Begitu turun dari kereta, di stasiun Circular Quay, terbentang pemandangan landmark kota Sydney: Opera House berseberangan dengan Harbour Bridge. Dan aku pun bilang pada diriku sendiri: ”Welcome to Sydney Git...”. Dari tadi rasanya belum nyampe di Sydney sih...


Sebelum berjalan kaki ke Opera House, kami beli dan makan sandwich dulu di salah satu dermaga ferry Circular Quay. Bapak-bapak tiba-tiba kelaparan. Hmm... bukannya tadi sudah sarapan muffin ya di pesawat? Tapi meskipun sebentar lagi jam makan siang, di Jakarta sekarang adalah jam makan pagi. Jadi... aku gak protes, ini kan bisa dianggap brunch lah, biasanya juga jam segini aku turun ke Starmart cari cemilan. Aku ikutan beli Chicken & Cheese Sandwich, tapi hanya mampu menghabiskan sepotong. Sepotong lagi aku masukkan ke tas, untuk dimakan nanti. Dan kami pun makan dengan ditemani burung merpati dan camar yang tiba-tiba nimbrung hinggap di meja-meja kios makanan tersebut.

Setelah bapak-bapak kenyang, kami pun jalan kaki ke Opera House. Waktu kami sampai di dekat Opera House, langit agak tertutup awan, aku jadi teringat kunjunganku 13 tahun lalu. Suasananya mendung-mendung gitu karena emang waktu itu lagi winter. Beberapa hal rasanya sih gak berubah... contohnya tempat bis turis nge-drop rombongan tour-ku 13 tahun lalu. Pas aku melihat ke sana, rasanya deja vu... Tapi ada juga yang berubah... kalau dulu kami masih bisa lihat display mengenai sejarah Opera House, sekarang ini... untuk masuk ke Opera House harus ikutan tour keliling Opera House seharga $35. Mungkin kalo aku pergi sendirian, atau hanya dengan keluarga, aku akan ambil tur itu, buat membandingkan dengan Gedung Kesenian Jakarta (wakakakakak....).

Lagi tengah-tengah foto-foto di sekitaran Opera House, awan-awan yang tadinya menutup langit tersibak entah kemana, dan langit pun menjadi sangat cerah. Wow... aku langsung mikir: hmm... kalo gini caranya, sebelum berangkat tidak perlu khawatir tentang ”bawa berapa jaket” dunk... Cuacanya ennaaakkk banget... mengingatkanku pada Bandung di tengah tahun: cerah, matahari bersinar, tapi gak sumuk. Buat foto-foto juga bagus banget... Namun sepertinya matahari Sydney itu memberi kontribusi awal pada hitamnya diriku 2 minggu kemudian... hehehe...

Dari kejauhan, kelihatan orang-orang yang lagi ikutan tur Harbour Bridge Climbing. Jadi mereka membayar sekitar $189 untuk naik ke atas railing-nya Harbour Bridge. Perjalanan turun naik kurang lebih 3 jam katanya. Hii... kalo aku sih males: bayar mahal untuk disiksa di atas ketinggian...


Setelah puas foto-foto, kami berjalan ke Circular Quay lagi. Kali ini kami mau mencoba naik ferry ke Darling Harbour. Tapi sebelumnya si Iqbal sempat menghilang ke toilet. Kami naik ferry jam 12.45 dari Wharf 5 ke arah Darling Harbour. Emang dasar gak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati pemandangan, aku, Iqbal, dan pak Djoni memilih duduk di gang di dek ferry. Anginnya booookkk… gede pisaaann… pak Djoni akhirnya memilih masuk ke ruang penumpang. Sementara itu pak Mahyudin terkantuk-kantuk masih jet lag.

Kami mendarat di King St. Wharf number 3 yang ternyata masih jaaauuhh jalan kaki ke areal Darling Harbour. Kami sepakat untuk cari makan. Pak Mahyudin sepertinya udah lelah, pak Yus masih santai-santai saja, tapi memang gak se-fully charged aku yang emang udah diniatin dari jauh hari sebelum berangkat bahwa: aku gak boleh kena jet lag. Tapi dengan matahari yang terik banget, kering, dan jam yang bahkan sudah mendekati jam makan siang waktu Indonesia bagian Menara Satrio (kami biasa makan siang jam 11.30), kami memang harus istirahat.

Di pertokoan dekat King St. Wharf itu tidak ada restoran yang cukup meyakinkan (terutama meyakinkan di kantong), kebanyakan pub gitu deh… Kami harus berjalan melewati Sydney Aquarium, Sydney Wildlife World. Kemudian berhenti sebentar sebelum naik ke Pyrmont Bridge, karena pak Djoni nemu telepon umum. Pak Djoni mencoba nelpon James, host kita di Avaya Sydney, untuk memberi tahu bahwa kami sudah mendarat di Sydney. Responnya adalah: “langsung aja datang besok pagi..”


Kami melewati Pyrmont Bridge, berjalan di bawah bayangan jalur monorail. Monorail itu, satu-satunya kendaraan umum yang kunaiki di Sydney 13 tahun lalu. Setelah Pberpanas-panas dan berhenti beberapa kali untuk foto-foto, akhirnya... sampai juga di Harbourside Shopping Centre.

Shopping centre itu, terlihat kecil. Padahal menurut ingatanku, shopping centre itu gede banget. Di situ lah pertama kali aku menemukan Dymocks yang jualan banyak buku Star Trek sebelum menemukan toko buku Dymocks di George St. yang jualan lebih banyak lagi buku Star Trek. Sekarang… tidak terlihat ada tanda-tanda Dymocks di mall tersebut.

Mungkin juga persepsiku tentang besar-kecilnya mall, terpengaruh oleh keadaan Indonesia sekarang dibandingkan 13 tahun lalu. Kalo 13 tahun lalu, buat aku yang namanya Mall itu ya cuman Pondok Indah Mall saja, makanya Harbourside Shopping Centre keliatan wah banget. Sekarang? Di Jakarta doang buuaaannyyyaaakkk banget mall, tinggal pilih mau yang kecil mungil, atau yang super duper heboh kayak Kelapa Gading Mall, Grand Indonesia… Belum lagi Tunjungan Plaza yang bikin aku kesasar seminggu sebelumnya.

Kami makan di food courtnya Harbourside Shopping Centre. Aku beli Kids Meal Kebab seharga $7.50 yang terdiri dari Beef Kebab, Chips, dan Orange Juice yang botolnya kayak bedon buat naik sepeda. Sesuai perkiraanku, Kids Meal-nya cukup banyak buat aku. Buat menghabiskan Chipsnya saja harus dibantuin. Oya, mereka menyebut kentang goreng dengan sebutan “Chips”, padahal dalam persepsiku, yang namanya chips itu keripik.

Ternyata aku haus sekali… orange juicenya cepat sekali bocor jadinya… aku berniat, begitu sampai hotel aku mau minum air yang buuaaannyyaaakkk… Air mineral ukuran 600ml di sana harganya berkisar $2 (sekitar Rp.14000). Sakit hati lah kalo mikirin rupiahnya. Aku menyiasatinya dengan membawa botol minum kosong dari Jakarta di koper, untuk diisi dengan air kran yang drinkable setiap pagi sebelum berangkat dari hotel. Kebetulan aku tergolong cukup “tega” untuk minum air kran. Sebenarnya kalopun gak setega diriku, bisa saja sedikit repot dengan cara memasak terlebih dahulu air kran dengan menggunakan pemanas air yang buat bikin teh/kopi.

Satu hal yang jadi perhatian kami di food court ini adalah: semua orang membereskan sendiri sisa-sisa makanan dan bekas eating tools yang selesai digunakan, kemudian membuangnya di tempat sampah. Mandiri banget deh… Petugas kebersihan tugasnya bener-bener hanya mengosongkan isi tempat sampah tersebut. Gak harus membersihkan meja-meja dari bekas makanan.

Selesai makan, kami berjalan ke arah Pyrmont Bay untuk naik ferry balik ke arah Circular Quay. Dalam perjalanan ke arah Pyrmont Bay, lagi-lagi berpapasan dengan orang naik sepeda. Dari tadi di Circular Quay, aku sudah ngiler pengen naik sepeda di sini. Keliatannya tempatnya sepeda friendly banget. Sepeda bisa seliweran di trotoar tanpa saling mengganggu dengan pejalan kaki, dan juga cukup dihargai di jalan raya.

Di Pyrmont Bay kami melihat kapal model Bounty sedang bersandar di dermaga. Antik banget, dengan layar-layar yang terlipat. Tapi kalo disuruh naik perahu begituan, mabok kali ya aku? Perjalanan ferry dari Pyrmont Bay ke Circular Quay lebih berangin dan lebih bergelombang dibandingkan perjalanan pergi tadi. Sesampainya di Circular Quay, sempat bengong sebentar (dan aku sempat ngambil foto burung camar dari dekat sekali), sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk hotel dulu. Kami pun naik kereta lagi menuju stasiun Museum.


Sampai di hotel, ternyata ada salah persepsi di pihak hotel. Kami dianggap hanya booking 2 kamar!!! Dong dong banget deh… Ih, padahal kami kan udah bayar buat 3 kamar… Gimana cara coba ya… masa’ bapak-bapak itu mau tidur berempat kayak sarden? Terpaksa deh… telepon ke ANTATOUR Jakarta. Kami sempat mau coba telepon via PABX Kantor, tapi ternyata gak nemu koneksi internet. Opsi berikutnya adalah menggunakan salah satu selular kami, dan ternyata satu-satunya telepon yang bisa melakukan panggilan ke Jakarta adalah teleponku. Boookk… complain tentang beginian kan gak bisa sebentar doang… padahal aku aslinya pelit pulsa kalo udah namanya roaming internasional.

Akhirnya aku, Iqbal, dan pak Djoni menunggu di lobby, sementara pak Yus dan pak Mahyudin yang sudah teler, tinggal di kamar 720. Ternyata front office hotel sudah bicara dengan ANTATOUR dan lagi nunggu konfirmasi soal bookingan ketiga. Setelah nunggu gak jelas di lobby (untungnya gak makan waktu lama), akhirnya kami dapat bookingan ketiga itu. Fiiuuhh... untung deh... kalo nggak, urusan bisa lebih panjang lagi.

Aku dapat kamar 1312, kamar yang double bed, sementara kamar lainnya twin bed. Kamarnya kecil, tempat tidurnya standar banget, meskipun selimutnya katanya sih wool dari domba Merino. Tapi fasilitas tambahannya lumayan oke: ada setrikaan, ada pemanas air + teh kopi, ada beberapa set piring gelas sendok garpu, ada bak cuci piring, dan yang terpenting: ada microwave oven!!

Aku langsung mandi di kamar mandi yang seuprit (tapi menyediakan tali jemuran juga ternyata, lumayan... cukup buat menjemur 1 CD, 1 bra, dan 1 shirt). Setelah itu manasin sisa Chicken Sandwich yang tadi siang. Hmm... giling juga tuh microwave oven. Perasaan cuman 1 menit deh manasinnya, tapi kemebulnya (dan juga lelehan keju cheddarnya) kayak manasin 5 menit!! Pantesan aja dikasih tulisan peringatan untuk memperhitungkan waktu dengan benar, karena kalo sampe kebulnya kebanyakan, itu bisa membunyikan alarm kebakaran, dan membuat pemadam kebakaran datang ke hotel tersebut. Nah, konon dendanya bisa sekitar $400 sendiri karena false alarm itu.

Jadi enak banget tuh Chicken Sandwich dengan whole wheat bread-nya yang jadi lemes kepanasan, atau aku kelaparan ya? Waktu itu baru jam 7 waktu setempat, masih terang benderang, atau jam 3 WIB… biasanya masih ngutek di depan kompie di kantor. Tapi aku tetep aja bisa makan over-heated sandwich tadi dengan lahapnya seperti selayaknya makan malam.

Setelah itu aku ketiduran. Bangun-bangun sudah jam 8. Aku heran, kenapa Iqbal gak nelpon-nelpon ya? Katanya bapak-bapak pengen cari makan malam? Akhirnya jam 9 aku telepon kamar mereka, ternyata kasusnya sama: ketiduran. Kami gak tega mau bangunin pak Yus dan pak Mahyudin, jadi sepakat pergi bertiga saja. Ternyata waktu kami jalan meninggalkan hotel, pak Yus dan pak Mahyudin ada di belakang kami. Kasus mereka juga sama: ketiduran, terus bangun, kelaparan, tapi heran kok gak ditelpon-telpon. Karena kelaparan, akhirnya memutuskan untuk keluyuran cari makan, ternyata pas barengan dengan kami mau keluar juga.


Kami berjalan kemana kaki melangkah. Tidak seperti tadi siang yang panas menyengat, malam ini sedikit windy... Padahal aku hanya bermodal t-shirt. Hehehe... Akhirnya sampai di China Town, yang ternyata food courtnya sudah banyak yang tutup. Tinggal tersedia resto yang kalo gak keliatannya mahal, ya keliatannya gak halal. Setelah mencari dan mencari, ujung-ujungnya masuk ke McD Sydney Entertainment Center. Aku hanya pesen teh panas dan apple pie. Enak banget, dingin-dingin berangin gitu minum teh dan pie panas. Tehnya aku campur dengan susu, kalo yang semalam nyepret ke jeans, yang kali ini belepetan di meja. Payah deh... Oya, aku udah lama gak makan apple pie garing yang yummy kayak gitu semenjak menu apple pie menghilang dari seputaran Wendy’s dan McD di Jakarta (itu terjadi mungkin pas aku SMU), dan sekarang aku belum sempat mencoba pie-nya Burger King.

Setelah itu kami jalan balik ke hotel lagi. Sempat mampir ke convenience store di seberang hotel. Bapak-bapak pada mau beli minum. Hihihi… sementara yang lain pada beli air, aku cuek-cuek aja, entah udah berapa gelas air kran aku minum sejak sampai di hotel sore tadi. Dan malam itu pun tidur dengan suksesnya, baru terbangun ketika weker berbunyi keesokan paginya. (oya, di kamar hotel juga tersedia jam meja loh... jarang ada tuh).

Sydney Trip: Day 2

Selasa, 28 Oktober 2008
Hari pertama ke kantor. Aku gak mandi pagi hari ini, gara-gara air panasnya mati. Toh semalam sudah mandi sampe puas, jadi pagi cukup yang wajib-wajib sajah. Heheheh... Aku turun sarapan terakhir, waktu yang lain hampir selesai. Menu sarapannya simple: ada pilihan roti (mau whole wheat? Mau yang white? Tinggal panggang aja), trus kue-kuean (muffin dan pastry manis), ada buah dan yoghurt (tapi aku gak berani ambil, karena yoghurt-nya gede banget, 40ml per day aja udah bikin ”lancar”, apalagi 2 kali lipatnya), terus ada juga buffet yang terdiri dari spaghetti, bacon, sausage, scrambled eggs, dan potato gems. Aku hanya berani makan spaghetti, telur, dan gems saja. Plus makan roti dengan mentega. Gak berani ambil bacon dan sausage-nya. Mencurigakan...


Selesai makan, langsung setoran dulu. Abis itu kami pun berangkat. Hari itu mendung seharian. Juga lebih banyak angin dibandingkan kemarin. Kami jalan kaki lagi menuju stasiun Museum. Terus salah ambil jalur kereta. Bukannya ngambil jalur yang Direct ke Central, malah muter lewat Circular Quay, terus turun di Town Hall. Aku sendiri memang lebih milih turun di Town Hall. Kebayang kalo turun di Central, aku bakal bingung sendiri ngeliat segitu banyak platform yang harus dipilih. Di Town Hall kami berganti naik kereta yang ke arah Epping (jalur Merah, North Sydney – Hornsby). Ternyata kereta itu berhenti di setiap stasiun. Waktu dalam perjalanan ke Epping, pak Yus mempelajari peta jalur kereta, dan menemukan bahwa ada kereta yang rada Express ke arah New Castle yang juga berhenti di Epping, tapi berangkatnya dari Central. Hehe... oke deh pak, besok kita coba ya.


Sampai di Epping, kami mencari taksi. Kebetulan di tempat ngetem taksi, kami menemukan taksi yang besar, cukup untuk mengangkut kami berlima. Dan hebatnya lagi... taksi itu supirnya imigran dari Indonesia. Mantan orang Kebun Jeruk yang bermigrasi ke Aussie tahun 1983, dan sampai sekarang belum pernah ke Indonesia lagi. Keliatannya kehidupannya enak di Aussie, terbukti dari Nokia E71-nya yang kinclong.


Sampai juga di Kantor Avaya. Rupanya di situ adalah salah satu pusat R&D-nya Avaya. Mereka punya spesialisasi di bidang Video Conference. Aku gak akan cerita detail tentang kunjungan ke Avaya, abis kesannya kayak buka rahasia perusahaan orang. Yang pasti hari ini kami disuguhi minuman dari cafetaria, muffins, dan bolu pisang. Selesai dari kantor Avaya, James mengantar kami (dengan berdesak-desakan di mobilnya) ke stasiun Epping.


Dari Epping, sesuai saran James, kami menuju ke Olympic Park. Agak ribet juga naik keretanya. Jadi naik kereta ke stasiun Strathfield dulu, terus tukar kereta dengan kereta yang menuju ke Lidcombe, nah dari Lidcombe naik Olympic Park Sprint, yaitu kereta shuttle yang kerjanya bolak-balik antara stasiun Lidcombe dengan Olympic Park.


Dan tibalah kami di kompleks Olympic Park: kompleks stadion tempat penyelenggaraan Olympiade Sydney tahun 2000. Lucu juga... waktu tahun 1995 datang ke sini, mereka baru mulai jualan merchandise Sydney 2000 sebagai salah satu usaha untuk mengumpulkan dana. Sekarang ketika aku datang lagi, tinggal liat ”sisa-sisa” dari Olympiade 2000 tersebut, berupa kompleks stadion nan megah dengan segala fasilitasnya.

Di Olympic Park Information Centre, ada yang jual jersey sepeda keren banget motifnya. Tapi sayangnya harganya kok gak kayak di BBB Bike yak? Hehehe... Setelah masuk ke bagian dalam dari Information Centre, aku baru tauk kalo ternyata di Olympic Park itu kita bisa menyewa dan berkeliling dengan menggunakan sepeda. Sepeda yang disewakan macam-macam jenisnya, ada City Bike, ada MTB, bahkan ada sepeda lipat juga (gak takut dibawa kabur ya?). Di seputar kompleks, tersedia jalur sepeda, tapi mau lewat trotoar juga boleh saja. Huhuhu... Aku jadi semakin pengen naik sepeda ajah...

Kami makan siang di kios makanan di belakang Information Centre, tepatnya di seberang ANZ Stadium. Aku makan hot chocolate dan meat pie, sambil menikmati angin yang bertiup lumayan heboh sehingga menerbangkan tisu-tisu yang ada di atas meja. Ternyata meat pie itu adalah salah satu makanan khas Australia. Meat pie yang aku makan ini berisi campuran daging sapi dan daging kambing yang dimasak di dalam gravy sauce. Waktu aku tanya ke ibu-ibu yang jaga kios: ”Ada pie gak?” Aku membayangkan sesuatu yang manis, kayak apple pie atau pie buah lainnya. Ternyata dia bilang adanya pie daging. Enak juga... cuman entah kenapa gigiku kok jadi makin gripis ya abis makan pie itu? Padahal gak keras loh...


Selesai makan, foto-foto di depan ANZ Stadium. Di dekatnya ada tiang-tiang gak terlalu tinggi yang bertuliskan nama-nama atlet peserta Sydney Olympic Games 2000. Cocok buat maen kejar-kejaran kayak di film India.


Setelah puas foto-foto, kami pun kembali naik kereta menuju kota. Sebelumnya mampir ke stasiun Homebush dulu, pak Djoni berusaha mencari DFO, katanya sejenis factory outlet gitu. Kalo aku sih malas. Kalo mau ke factory outlet, mungkin lebih baik ke Bandung sajah... hehehehe...

Tapi kita hanya berjalan gak karuan di Homebush, DFO-nya ternyata masih 45 minutes dari stasiun Homebush. Jadi kita pun meneruskan perjalanan lagi, sampai turun di stasiun Town Hall. Tujuan kami berikutnya adalah melihat patungnya Queen Victoria di Queen Victoria Building. Begitu turun kereta, bapak-bapak cari toilet dulu. Toiletnya cukup unik, karena pintu depannya pakek pintu geser otomatis, kayak di bank ajah. Hehehe...

Abis itu pak Yus lihat counter Vodafone, jadi mau mampir dulu, buat aktivasi SIM Card yang kemarin dibeli di Circular Quay. Aku lihat jam: ½ 6. Sebentar lagi toko-toko tutup. Daripada menunggu yang lain, akhirnya aku bilang ke Iqbal bahwa aku akan meninggalkan mereka sebentar ke Dymocks yang kira-kira terletak di seberang QVB tersebut. Aku pun kabur.... dan keluar di pintu yang salah. Jadi harus jalan agak jauh menembus kerumunan orang yang lagi nunggu bis. Terus nyebrang ke sisi lain dari George St. Dan akhirnya menemukan toko buku Dymocks. Ternyata gak sebesar yang kuingat. Mungkin terdistorsi juga dengan Gramedia Matraman atau Kinokuniya Singapore? Jaman 1995, Dymocks keliatannya besar banget. Sekarang jadi terlihat gak ada apa-apanya dibandingkan 2 toko buku di atas.

Aku secara sekilas mencari bagian Majalah yang ternyata GAK ADA. Terus turun ke basement, di tempat yang seingatku ada bagian Sci-Fi. Bagian sci-fi-nya masih ada, tapi memang buku Star Trek-nya gak sebanyak dulu lagi. Tempat buku musik juga gak seasik dulu lagi. Kalo yang ini sih jelas terpengaruh dengan adanya www.bukumusik.com di Plaza Semanggi dan juga Music Essentials di Singapore. Ada Disney Store, tapi gak jualan boneka. Akhirnya aku keluar dari Dymocks tanpa membawa hasil. Kemudian mulai mencari rombonganku lagi...


Mereka kutemukan di dekat patung Queen Victoria yang berada di luar QVB. Di dekatnya ada wishing well yang ada patung anjingnya. Ceritanya itu adalah ”Islay”, anjing kesayangan Ratu Victoria. Pas lagi foto-foto di dekat patung Queen Victoria itulah aku melihat toko buku Galaxy di York St., tepat di seberang patung Queen Victoria tersebut. Aahh... besok-besok boleh juga mampir ke Galaxy Bookshop itu, kata halaman kuning, di situ jual buku Star Trek.

Aku masih pengen jalan-jalan, tapi pak Mahyudin dan pak Yus pengen balik ke hotel. Akhirnya kami berpisah di depan patung Victoria. Pak Yus dan pak Mahyudin jalan kaki balik ke hotel (hanya beberapa blok). Sedangkan aku, Iqbal, dan pak Djoni mencari Sydney Tower. Dasar dodol... aku bukannya melihat peta dulu, atau MENDONGAK KE ATAS. Aku langsung mengajak mereka masuk lagi ke stasiun Town Hall. Aku perkirakan Sydney Tower itu dekat dengan stasiun Wynyard.

Aku baru ngecheck peta ketika kami sudah di platform bawah stasiun Town Hall. Jreng...!! Ternyata Sydney Tower itu dekat dengan QVB, dan tadi waktu jalan kaki ke Dymocks, aku sudah melewati perempatan yang menuju Sydney Tower. Cuman salahnya, aku gak nengok ke atas, jadi gak sadar kalo di dekat situ ada Sydney Tower.

Kami gak jadi naik kereta, akhirnya malah keluar lagi dari stasiun Town Hall, kemudian berjalan kaki ke Sydney Tower. Pintu masuk Sydney Tower tidak sulit untuk ditemukan. Petunjuknya mudah untuk ditemukan, meskipun sedikit tertutup oleh proyek pekerjaan renovasi.

Sempet terjadi tragedi kamera Iqbal sebelum naik lift menuju Podium Level, tempat beli tiket untuk naik. Tapi untung kameranya baik-baik saja, gak berakhir seperti tragedi kamera Randegan.


Sydney Tower ini bangunan tertinggi di Sydney katanya... tapi coba check di link http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_tallest_buildings_in_Sydney, ternyata dia gak masuk hitungan dalam daftar gedung tertinggi di Sydney, karena dianggap tidak habitable. Mungkin kalo di Jakarta, bisa dianalogikan dengan Monas. Maksudnya bukan untuk ketinggiannya, tapi untuk unhabitable-nya. Monas kan juga sifatnya hanya observation tower aja. Museum-museum adanya di basement-nya.

Tiket untuk naik ke Sydney Tower adalah seharga $25. Itu sudah termasuk naik ke Observation Deck, terus masuk ke atraksi OZTrek, yang mana aku gak ada ide, sebenernya atraksi OZTrek itu apaan seh...

Lucu deh, lift untuk naik ke observation deck-nya terdiri dari 2 kompartemen yang berdampingan atas dan bawah. Jadi ketika naik, yang terangkut bisa sekaligus banyak. Sampai di atas, yah standar sih... liat-liat pemandangan, foto-foto, liat-liat souvenir. Aku sempet mampir ke toilet dan melakukan ritual ya-gitu-deh. Tadinya bangga banget... namanya juga jarang-jarang di ketinggian ratusan meter di atas permukaan tanah. Tapi setelah mengingat kejadian pas berangkat dinas ke Surabaya 1 ½ minggu sebelumnya, ternyata yang di Sydney Tower ini gak terlalu spesial.


Waktu matahari udah mau terbenam, kami turun ke podium level lagi, kemudian segera mengantri untuk masuk ke atraksi OZTrek. Kalo menurut dugaanku, itu seperti atraksi di Dufan yang ganti-ganti nama terus itu... yang pakek kursi terus digoyang-goyang seolah-olah kita lagi perang-perangan naik pesawat ruang angkasa, tapi ini mungkin settingnya keliling Aussie. Setelah nunggu dan ngantri sekitar 20 menit, akhirnya wahananya dibuka juga. Kita dikasih safety briefing dulu, abis itu dipandu masuk ke ruangan isinya kotak kaca mirip diorama yang di depannya ada kursi-kursi gitu. Ternyata acaranya emang diorama tapi ada moving picture-nya, jadi kayak “holodeck” gitu deh, tapi tentu saja dalam mode yang jauh lebih primitif. Kita duduk di kursi-kursi tadi, mendengarkan suara dari pertunjukan diorama tadi melalui headphone, oya kita bisa milih bahasa: Inggris, Jepang, Cina, atau Korea.

Ceritanya ya tentang kehidupan di Aussie lah. Ada kehidupan di kota-nya, di pinggir pantai, di outback, bahkan di hutan tropis. Setiap ganti scene, kursi kami bergeser ke diorama yang ada di sebelahnya. Setelah acara diorama-nya selesai... kami dipandu lagi untuk masuk ke theater yang besar dengan kursi-kursi seperti di Dufan!!

Nah ini diaa.... seperti yang kuduga... kita diajak “keliling Aussie” di atas kursi goyang tadi. Lumayan seru sih... Tapi kalo begituan sih di Dufan juga ada yaa... Kalo kata Iqbal: gue tauk kenapa OZTrek itu dijual sepaket sama tiket naik ke Sydney Tower, soalnya kalo dipisahin, OZTrek itu gak laku...

Selesai atraksi OZTrek, kami pun turun dari Sydney Tower. Kali ini tujuannya mau ke Circular Quay, karena mau liat pemandangan Opera House dan Harbour Bridge di waktu malam. Ternyata pas keluar dari Sydney Tower, dan berjalan menuju stasiun Town Hall, cuacanya lumayan berangin. Wuuiiyy... agak dingin jadinya.

Sampai di Circular Quay, kami berjalan melewati The Rocks, teruuussss.... ke arah Harbour Bridge. The Rocks isinya toko-toko dengan arsitektur antik. Iqbal sempet nunjuk kedai burger, tapi karena masih sibuk nyari akses ke Harbour Bridge, jadi niatnya nanti saja pas balik dari sana.

Akhirnya kami mencari Dawes Point: sebuah taman yang letaknya di bawah pylon selatannya Harbour Bridge. Tapi gak ada tangga di situ. Terus aku lihat ada petunjuk ke arah Pylon Lookout, tapi anehnya petunjuknya itu menjauhi Harbour Bridge kembali ke arah The Rocks. Kami ikuti petunjuk itu, masuk ke jalanan yang sumpee... gelap banget. Kalo kata peta sih itu Cumberland St. Kami melewati kantornya BridgeClimb, tapi sudah tutup. Akhirnya di tengah-tengah pepohonan, ketemu juga tangga yang keliatannya banyak banget anak tangganya dengan petunjuk bahwa tangga itu menuju Harbour Bridge dan Pylon Lookout. Hmm... berarti kalo mau naik ke Harbour Bridge, harus naik ke situ tuh...

Naiklah kami memanjat tangga itu, lumayan juga tingginya. Tangganya seperti dilapisi dengan pasir kelap-kelip, mungkin supaya gak licin. Akhirnya sampailah kami pada suatu pelataran. Aku pikir itu pylon lookout, tapi ternyata bukan. Terus ada tangga kecil lagi ke arah pintu kecil, ternyata di balik itu sudah jalan raya yang menuju Harbour Bridge! Kami pun langsung lewat pintu itu... tapi kok? Jalan setapak yang ke arah Harbour Bridge dihalangi dengan pagar. Tulisannya “No Pedestrian Access” gitu... apa emang pejalan kaki gak boleh lewat Harbour Bridge? Padahal katanya ada jalur khusus pejalan kaki di Harbour Bridge... Karena gak ada pilihan, akhirnya kami menyusuri jalan setapak ke arah berlawanan yang bernama: Cahill Walk. Jalan setapak itu memang menyusuri Cahill Expressway, lewat jalan layang yang di atasnya Circular Quay, terus berakhir di Royal Botanical Garden.

Aku sampe mesti buka jaket, meskipun banyak angin... tapi kepanasan juga akhirnya. Gara-gara olahraga malem-malem kali yaa... Yang penting ntar sampe hotel harus mandi air panas, biar gak masuk angin. Gak asik banget kalo sampe masuk angin.

Cahill Walk itu ternyata panjang banget.... berasa gak selesai-selesai... mau balik arah kok udah jauh. Setelah sekitar ½ jam berjalan layaknya orang tersesat, akhirnya nemu lift, yang ternyata berada di sampingnya stasiun Circular Quay. Huurrraaayyy... sampe daerah yang familiar!!

Aku sampe sekarang masih bertanya-tanya... karena semua informasi mengenai Harbour Bridge yang ada di Internet menunjukkan bahwa pejalan kaki bisa mengakses Pylon Lookout (dan kemudian Harbour Bridge) melalui tangga yang ada di Cumberland Street. Seharusnya itu tangga panjang yang kubilang berpasir kelap-kelip tadi. Alternatif lain adalah melalui Cahill Walk yang ujungnya di Royal Botanical Garden, dan dapat diakses melalui lift yang ada di Circular Quay. Nah... Cahill Walk, kemudian lift itu... semua juga sudah kulewati... tapi kenapa yang ada tulisan “No Pedestrian Access” ya? Apa karena itu sudah larut malam? (jam 8 hampir jam 9 gitu deh, cafe-cafe di The Rocks juga sudah banyak yang tutup). Ah ya sudahlah... nanti kalo ada kesempatan lagi, ya dicoba lagi saja...

Dari Circular Quay, kami kembali ke stasiun Museum. Kemudian putar-putar cari makan sekalian cari hotel. Sempat tertarik untuk makan steak Australian Angus Beef, tapi tempatnya di tengah-tengah pub yang berisik gitu. Ujung-ujungnya makan fastfood lagi, kali ini Hungry Jack, kalo di Jakarta lebih dikenal dengan nama Burger King. Aku pesan Whopper Jr. Regular Value Meal. Setelah itu sempet keluar masuk budget hotel untuk tanya-tanya bookingan. Tapi kok gak sreg aja mau masuk budget hotel. Sempet hampir booking di hotel bintang 3 macamnya Ibis, tapi rata-rata mereka gak ada kamar untuk hari Jumat-Sabtu. Ternyata waktu kami sampe di hotel terus bertanya... di Travelodge bisa di-perpanjang 3 hari lagi sampe checkout hari Minggu. Ya sudahlah... bungkus!!

Sydney Trip: Day 3

Rabu, 29 Oktober 2008
Sebelum turun makan pagi, aku menengok ke luar jendela kamar hotelku. Hmm... ada sesuatu yang tidak biasa... Gedung tinggi yang berada di sebelah kanan kamar hotelku kok atapnya tertutup kabut/awan ya? Aku mengamati jalanan di bawah... kenapa lebih mengkilap? Sepertinya jalanannya basah... Habis hujan kah?

Ketika aku sampai di lobby, terjawab lah sudah misteri yang jadi pertanyaanku dari tadi: gerimis. Sebenernya bukan gerimis seperti yang aku kenal di Jakarta. Kalo gerimis yang itu = hujan ringan. Nah yang ini ukuran tetes airnya lebih halus dibandingkan hujan, jadi gak nusuk-nusuk seperti air hujan. Ini yang di ramalan cuaca biasa disebut: drizzle. Tak tahu kalo dibahasa Indonesiakan jadi apa istilahnya.

Kami berangkat agak terlambat hari ini. Jam ½ 10 baru jalan dari hotel. Pas berangkat dari hotel ke kantor, aku masih rajin pakek payung. Tapi setelah selesai ngantor, payungnya jadi berasa ngerepotin, karena meskipun aku basah kena drizzle tadi, aku tidak merasa kehujanan... akhirnya kulipat dan disimpan di tas saja.

Kali ini kami langsung menuju ke Central, gak pakek muter lewat City Circle dulu. Sampai stasiun Central jam 10. Terus menuju ke Intercity Train Platform. Kami mencari kereta yang menuju New Castle, karena kereta tersebut berhenti di Epping, tapi tidak berhenti di setiap stasiun yang kami lewati. Hanya berhenti di Strathfield, kemudian Epping. Jadi lumayan, bisa menghemat 20 menitan. Tapi kereta tersebut baru jalan jam 10.15. Jadi bengong dulu nunggu keretanya jalan.

Sampai Epping, kemudian naik taksi besar lagi. Kali ini bukan imigran dari Indonesia lagi. Oya, taksi sana enak, dilengkapi GPS. Jadi supirnya langsung ngetik alamatnya di GPS-nya, terus tinggal ngikutin rute tercepat yang ditunjukkan. Gak pakek acara nyasar.

Jam 11 kurang sampai di Avaya. Sudah ditunggu oleh James. Kami langsung dipersilakan masuk ke ruang meeting di atas. Karena cuacanya gak bersahabat, langsung dipersilakan untuk bikin minuman panas di bagian belakang ruang meeting tersebut. Kebayang enaknya minum teh susu lagi dingin-dingin gini... Udah nakar tehnya, nakar gula… pas nyari dispenser air panas, si James nunjukin keran air panas. Wakakakakak… akhirnyaaa… yang lain terpaksa minum air dari keran jugaaa…

Sebenernya gak usah ragu untuk minum air keran. Orang-orang yang tinggal di sana melakukannya tiap hari kok. Dan perut kita, orang-orang Indonesia, hampir bisa dipastikan lebih tahan banting dibandingkan perut mereka. Wong makan di warung tenda sebelah tempat sampah saja kuat…. Apalagi cuman minum air keran yang water treatment-nya udah oke dan tiap hari diminum sama bule-bule itu.


Selesai urusan dengan James, kali ini dia gak ngantar kami ke stasiun Epping, karena ada janji lagi dengan orang lain. Sebagai gantinya, dia panggilkan 2 mobil Premiere Taxi. Pas mobil pertama datang, aku, pak Yus, dan pak Mahyudin naik duluan menuju stasiun Epping. Kami dibawa lewat jalan di belakangnya kompleks Avaya itu. Ternyata Epping itu adalah daerah macamnya Silicon Valley. Kalo di Jakarta itu dimana ya? Mungkin Cikarang kali ya... atau Karawaci?

Agak lama juga kami nunggu Iqbal dan pak Djoni di stasiun Epping. Tujuan kami berikutnya adalah Pennant Hills. Di sana ada Koala Park Sanctuary. Kami mau liat binatang-binatang khas Australia. Tapi Pennant Hills itu gak tercakup dalam coverage tiket Green Travel Pass kami. Jadi terpaksa mesti beli tiket lagi. $4.20 untuk pulang pergi Epping-Pennant Hills-Epping. Ih, tak taunya... di Pennant Hills gak ada gerbang tiket, misalkan kami nakal gak beli tiket pun gak apa-apa sebenernya. Tapi harus jujur dong...

Sampai di Pennant Hills, kami bingung. Naik bis darimana ya? Setelah nemu halte bisnya, liat jadwalnya… ternyata bis berikutnya masih 40 menit lagi. Waatttaaa… padahal udah laper. Iqbal dan aku pun berinisiatif nyari makanan, sekalian buat yang lain juga. Secara kami kan yang masih muda segar bugar, jadi keujanan dikit harusnya lebih kuat lah.

Dengan bermodal jas seragam Raker SDM KKKS BPMIGAS dan scarf hitam beli di FPS ITB 2008 (fungsinya ganti-ganti, kadang buat diikat di leher untuk menghangatkan, kadang diikat di kepala biar rambut gak terlalu basah, kadang buat nutupin muka biar gak kena semprot air), aku pun jalan ngikutin Iqbal nyebrang pelataran parkir yang ada di dekat halte tersebut. Di sisi lain dari pelataran parkir tersebut ada jalan besar, di seberangnya ada KFC.

Sebenarnya jalannya gak besar-besar banget dibandingkan jalan-jalan yang ada di Jakarta, palingan hanya 3 jalur bolak-balik (jadi 6 jalur), tapi kendaraan yang lewat di situ tuh trailer-trailer gede dengan kecepatan lumayan, mirip kayak di Tanjung Priok. Udah gitu, sebagian dari jalan tersebut dibatasi dengan beton-beton setinggi pinggang, mirip dengan beton yang dulu ada di depan stasiun Gambir. Jadi untuk nyebrang sembarangan… gak mungkin banget lah, selain berbahaya… kalo sampai terjadi apa-apa, kita yang salah karena nyebrang tidak pada tempat yang benar. Jadi kami harus jalan dulu ke lampu lalu lintas terdekat, nyebrang… kemudian jalan lagi menuju ke KFC.

Selama berada di Sydney, mungkin itu saat-saat yang bisa dibilang paling menantang dari segi cuaca. Seharian drizzle gak berhenti-berhenti… ditambah pula anginnya dingin. Trailer-trailer yang ngebut itu ikutan nambah-nambahin angin pula. Ya itu, sesaat mungkin berasa jaauuuhh banget dari rumah, tapi gak boleh berasa putus asa. Dibalik aja cara berpikir kita: “Nikmati Git, loe gak tiap hari ngalamin drizzle ditambah angin kayak begini… Di Jakarta gak ada yang beginian...” (adanya yang lebih parah kali ya? Wakakakak…). Jadi meskipun hidung dan rambutku basah, masih ketawa-ketawa hore ajah.

Tadinya kami gak mau beli di KFC. Beli aja di mini market-nya SPBU Coles, lebih dekat jaraknya dari lampu lalu lintas tempat kami menyebrang. Tapi rupanya di mini market itu gak ada sandwich, adanya pie saja. Jadi ya jalan lagi ke KFC. Ngantre bareng sama supir-supir truk. Lama nunggu (kasirnya menghilang) baru dilayani. Mesen 5 paket twister yang terdiri dari: Twister, Chips, dan Air Mineral.

Selesai urusan di KFC… aku gotong-gotong plastic isi 5 botol air mineral, si Iqbal ngurus makanannya. Kita nyebrang lagi menuju halte bis tempat 3 orang bapak-bapak yang lain menunggu. Eeehhh… sampe sana, ternyata mereka sudah ada makanan, dari seberang stasiun kereta katanya. GUBRAK!! Wuadduuhh… padahal usahanya lumayan juga buat membawa Twister itu. Meskipun sudah pada pegang makanan, twister dan minumnya tetap kami bagikan. Lumayan buat makan malam nanti kaann…

Ternyata bisnya yang bakal kami naiki (rute 632) sudah ada, tapi memang belum ngetem di halte. Sementara itu haltenya sudah penuh dengan anak-anak ABG (usia SMP gitu deh) yang baru turun dari kereta. Mereka kayaknya baru pulang sekolah deh.

Aku pun nunggu di tengah-tengah ABG itu sambil menyantap chips-nya KFC yang ternyata enak banget (ini bukan karena lapar loh, karena emang beneran enak). Belum selesai makan, bisnya ngetem di depan halte. Padahal gak boleh makan di dalam bis. Chips-nya langsung aku masukkan saja ke ransel. Hihihi… beneran agak-agak careless kali ini. Biasanya aku gak pernah mau masukin makanan ke tas tanpa dilapis kantong plastic, nah kali ini karena keterbatasan resource, Twister dan Air Minum langsung aku masukkan ke tas. Sebelum naik bis, masukin Chips-nya sekalian yang udah dimakan sedikit.

Bis yang kami naiki ini bukan Sydney Buses, tapi Hills Buses. Jadi gak termasuk dalam coverage Green Travelpass kami. Harus beli tiket lagi deh. Sekali jalan ke Koala Park tarifnya $3.

Gak lama bis itu pun meninggalkan halte, dengan dipenuhi oleh anak-anak ABG yang tadi. Sebagian dari mereka berdiri. Di tengah jalan, aku dan Iqbal berdiskusi: kita turun dimana ya? Wuuaaaa... kita tuh sama sekali gak tauk, sebenarnya Koala Park itu di sebelah mana...

Untung banget... aku jalan ke bagian depan bis dan bertanya ke supirnya tepat pada waktunya. Dia bilang Koala Park berhenti di next bus stop. Wuahahaha... coba kalo telat sedikit.. udah kelewat kali. Gak asik jadinya.

Setelah turun dari bis, ternyata kasusnya sama dengan KFC. Kami turun tepat di sebrang Koala Park, tapi gak ada fasilitas penyebrangan di situ. Harus jalan lagi deh ke lampu lalu lintas terdekat. Pak Yus nyuruh aku buat pakek payung lagi, tapi ya gitu lah... meskipun basah, tapi aku gak berasa lagi kehujanan. Hari itu yang pakek kostumnya pas banget dengan cuacanya hanya pak Mahyudin: jas hujan tahan air.

Bukannya ngeluarin payung, aku malah mengeluarkan... Chips!! Jadi sambil jalan ke lampu lalu lintas, nyebrang, terus jalan balik lagi ke Koala Park, aku asik menikmati Chips-nya KFC yang tadi belum habis. Hihihi... jadi agak-agak lemes gitu deh kentangnya, karena kena basah dan baru aja diungkep di dalam tasku...

Sampai di Koala Park, buang karton Chips-nya KFC yang sudah kosong, terus beli tiket masuk seharga $19. Hujan... atau Drizzle masih terus berlangsung. Untungnya mereka menyediakan payung besar yang bisa digunakan oleh setiap pengunjung. Dengan kondisi Koala Park yang penuh dengan pepohonan, air yang jatuh gak akan kerasa seperti drizzle, karena sudah kena pepohonan dulu, jadi pasti tetesannya gede-gede.



Banyak juga ternyata binatang yang belum pernah aku lihat secara langsung, contohnya Wombat, Dingo, Possum. Koala-nya di sini banyak, hihihi... cuddly banget, kayak boneka. Terus aku sempet masuk ke kandang kanguru. Kangurunya mengira aku, membawa makanan, jadi dia berusaha berdiri meraih tanganku. Hihihi... jadi lucu deh fotonya... Padahal di kandang kanguru itu banyak telek kanguru bergelimpangan, kacamataku lembab, jadi agak-agak susah untuk melihat dengan jelas... pasrah aja lah... mau nginjek telek kanguru juga bodo amat deh...


Kami akhirnya keluar dari Koala Park jam 5, tepat beberapa menit sebelum Koala Park-nya tutup. Tadinya aku gak mau belanja apa-apa... tapi setelah ngeliat pak Yus bawa boneka Koala gede banget... kok aku belum beli apa-apa ya... Liat-liat ke tempat boneka... aku gak tertarik untuk beli boneka Koala ataupun Kanguru, abis kok standar banget... Pengen boneka dingo sebenernya, tapi gak ada. Akhirnya aku nemu binatang gilig gitu... bentuknya kayak marmut, ekspresinya kayak om La. Aku tanya dulu sama yang jaga toko: ini binatang apa sih? Dia bilang: ”Itu wombat. Seperti Matilda The Wombat, emang tadi kamu gak liat dia?”. Aku cuman mikir: Yang mana ya? Tadi lewat kandang wombat tapi kosong, aku pikir wombat-nya lagi ngumpet karena hujan.

Ternyata oh ternyata... belakangan aku baru sadar kalo sebenarnya aku memang pernah melihat Matilda. Jadi waktu kami baru masuk ke areal Koala Park tadi, ada binatang lebih gede dikit dari om La lagi dikerubutin sama turis-turis Jepang. Aku pikir itu koala besar, tapi sebenernya itu tuh wombat... berarti itulah si Matilda!!


Ibu-ibu yang jaga loket/toko menyuruhku menamai wombatku ”Matilda”. Matilda-ku langsung kumasukkan ke dalam ransel, berdesak-desakan dengan air minum, payung, twister KFC yang belum sempat kumakan, dll. Kemudian kami menunggu bis yang menuju kembali ke stasiun Pennant Hills. Cuaca masih juga drizzle, tapi gak selebat tadi.


Sampai di Pennant Hills, Iqbal bilang mau ke Video Ezy yang ada di perempatan tempat kami nyebrang tadi pas mau ke KFC. Jadi sementara bapak-bapak lainnya langsung masuk ke stasiun, aku berdiri nunggu Iqbal di depan stasiun sambil makan twister yang tadi belum sempet dimakan. Lunch part-2 at 5 pm ceritanya...

Iqbal ternyata gak lama-lama di Video Ezy. Kami cepet-cepet menuju platform, dan gak lama kereta menuju City datang. Kali ini aku milih duduk di kompartemen bawah. Dan pembicaraan hari ini bertemakan: sepeda. Hihihihi…

Sampai di stasiun Central, kami turun dan tidak meneruskan perjalanan ke Museum. Kami keluar dari stasiun Central dengan harapan akan menemukan taman yang kemaren kami lihat dari atas Sydney Tower. Waktu itu drizzle-nya sudah berhenti. Ternyata kami tidak menemukan bangunan yang bentuknya seperti gereja yang berada di tengah taman tersebut. Adanya taman biasa saja dengan rumput yang luas. Waktu aku liat peta, ternyata taman yang bentuknya segi empat dan di tengahnya ada tugu besarnya adalah Hyde Park, yang mana berada di sampingnya stasiun Museum. Kami masuk lagi ke stasiun Central, terus naik kereta ke Museum. Di Museum, kami berpisah. Pak Mahyudin dan pak Djoni pulang ke hotel, sedangkan aku, pak Yus, dan Iqbal masuk ke Hyde Park.



Acaranya di Hyde Park adalah foto-foto... segala macem dijadikan obyek foto. Dari mulai ANZAC War Memorial, Australian Museum, patungnya Captain Cook, kolam di depannya War Memorial yang berlatar belakang Sydney Tower, dll. Karena Iqbal asik sendiri dengan foto-fotonya, terus aku asik sendiri memperhatikan tanaman-tanaman yang gak ada di Indonesia, akhirnya kami bertiga terpencar. Pak Yus pulang duluan ke hotel menjelang gelap. Iqbal gak tauk moto-moto dimana. Aku dan Iqbal akhirnya berhasil ketemu lagi di depan stasiun Museum sekitar jam 8 sore menjelang matahari terbenam. Dan kami sepakat kalo kami kelaparan dan pengen mencari steak daging sapi, abis kalo di Indonesia kan yang namanya Australian Beef sangat diagung-agungkan. Jadi sekarang pengen makan Australian Beef Steak di negara asalnya.


Pencarian steak daging pun dimulai… pertama kami jalan kaki ke Chinatown. Bukannya nemu steak daging, malah nemu yang jualan makanan Padang di salah satu food court di Chinatown. Setelah capek muter-muter dan gak nemu resto yang jualan steak tapi gak berbentuk pub… akhirnya aku mengusulkan: kita tutup kuping aja deh, masuk bistro yang satu lokasi sama pub yang kemaren (yang jualan Australian Angus Beef).

Akhirnya kami jalan ke arah pub tersebut. Oya, nama restonya Shark Bites. Untuk masuk ke Shark Bites Bistro itu, mesti melewati pub yang penuh dengan orang main bilyard, kongkow-kongkow, nonton pertandingan football dari LCD Projector, tak lupa berisik dengan suara musik, asap rokok, dan bir di atas meja. Wuah… lengkap lah sudah…

Ternyata tempat pemesanan makanannya si Shark Bites jadi satu dengan pub berisik tadi. Kami masing-masing memesan 1 porsi Australian Angus Beef Steak (aku lupa part/bagian apanya) with Mashed Potato + Extra Sauce (Dianne Sauce). Plus 1 gelas soft drink. Gak ada yang gak pakek soda di situ. Kalo mau gak pakek soda, ya minum bir. Kami dikasih semacam alat bernomor yang bentuknya seperti remote TV. Mbak-mbaknya bilang kami harus ngambil pesanan kami di dapur. Kami pun masuk lebih dalam ke arah meja-meja sepi yang ada tulisannya Shark Bites Bistro. Ternyata setelah duduk di situ, suara-suara berisik dari pub gak terlalu mengganggu.

Btw… gimana tauknya kalo pesanan kami sudah selesai…?? Aku jadi mengintai terus jendela dapur tempat para pengunjung lainnya mengambil pesanan mereka. Waktu dari jauh keliatan ada 2 steak dengan mashed potato diletakkan di pinggir jendela, aku langsung dengan sok taunya berjalan mendekati jendela itu. “Itu pesanan nomor 19 bukan?” Baru aja selesai ngomong… alat yang mirip remote TV tadi berbunyi… ternyata alat itu sejenis pager gitu (wah, emang ndeso banget…), buat manggil kita kalo pesanannya sudah selesai.


Tampangnya sih menarik bangeett… mashed potato di bawah, ditumpuk dengan daging steak, terus disiram pakek sauce-nya, abis itu dikasih sejenis potongan pangsit panjang-panjang… Tapi pas dimakan… umm.. empuk sih… tapi bayanganku tuh jauh lebih empuk dari itu!! Yang ini lebih alot kalo dibandingkan steak bikinan sendiri yang dimasak pakek Multi Roaster Oven dan diungkep lama pakek meat tenderizer. Dianne Sauce-nya ternyata kurang spicy kalo buat lidahku, akhirnya aku tambahin dengan barbeque sauce botolan, macamnya saus steak A1 gitu deh.

Selesai makan steak, kami mencari warnet. Abis kalo internetan di hotel sejam bisa abis $6. Nah ini... sejam cuman $2.50. Fungsinya warnet tuh buat mencari info-info tentang obyek akan kami kunjungi keesokan harinya. Untuk kali ini, tujuannya adalah mencari info mengenai persewaan mobil. Kami tuh lagi mikir-mikir gimana kalo besok pergi ke Blue Mountains pakek mobil sewaan.

Sewa mobil di sana gak terlalu mahal, mirip-mirip aja dengan di sini kalo dikurs dengan uang rupiah, mungkin karena dalam kondisi tanpa supir ya. Terus bensin juga kita yang bayar lagi. Tapi harga bahan bakarnya juga sama aja dengan harga di sini, terutama bensin Pertamax dan sodara-sodaranya itu. Cuman... ternyata setelah liat di websitenya RTA-nya NSW... untuk SIM dari luar Australia sebenarnya boleh-boleh saja, asalkan ada terjemahan bahasa Inggrisnya andaikata SIM tersebut tidak dalam bahasa Inggris. Lhhaaa... SIM Indonesia kan pakek Bahasa Indonesia... ah daripada-daripada pas apes ada razia... dendanya malah gila-gilaan, mending ambil yang aman aja deh: naik kereta lagiii...

Sydney Trip: Day 4

Kamis, 30 Oktober 2008
Hari ini jam 8 kami sudah berangkat dari hotel. Tujuan pertama adalah stasiun Central. Di stasiun Central, kami keluar dari peron untuk ke loket dan membeli tiket BlueMountainLink. Jadi dengar membayar $48.80 per orang, kita bisa dapat tiket kereta pulang-pergi dari Central ke stasiun Katoomba, plus tiket bus tingkat BlueMountainExplorer yang akan membawa kami keliling daerah Blue Mountains.

Setelah dapat tiketnya, kami masuk lagi ke peron untuk Intercity Train. Ternyata keretanya masih ½ jam lagi. Masih banyak waktu untuk cari toilet. Aku menghilang sebentar untuk cari toilet. Yang ternyata jauh juga... dan harus pakek keluar peron.

Waktu aku balik lagi ke atas, Iqbal dan pak Djoni lagi panik di pintu tiket gara-gara tiketnya pak Djoni tertelan oleh mesin tiket (salah masukin tiket). Untung ibu-ibu yang jaga mau bukain mesin tiket, dan kami pun mencari tiket yang tertelan itu dan kemudian berhasil menemukannya.

Jam 9.55 keretanya jalan. Perjalanannya 2 jam. Di tengah perjalanan, ada pemeriksaan tiket. Kondekturnya mas-mas dengan pakaian seragam celana pendek. Hihihi... Kami menembus daerah pinggiran kota Sydney, kemudian keluar kota, hingga akhirnya mencapai daerah perbukitan. Sepanjang perjalanan beberapa kali melihat orang keluar masuk kereta dengan membawa sepeda MTB. Dan buat mereka, itu hal lumrah aja... gak perlu pakek acaranya ngasih tips ke kondekturnya seperti di sini (itu pun kalo ada kondekturnya... selama di Sydney, baru sekali ini liat kondektur).

Hal lain yang jadi perhatian adalah... selama perjalanan 2 jam itu, kami hanya sekali melewati persimpangan kereta – jalan umum yang memakai palang pintu. Sisanya menggunakan terowongan atau flyover. Terus juga keberadaan BTS... Sinyal handphone penuh terus, tapi bangunan-bangunan di sana gak mirip rambut jabrik seperti bangunan di sini yang penuh antena.

Kami turun di stasiun Katoomba. Aku segera keluar dari stasiun, gak tauk yang lain mungkin foto-foto dulu kali, lama banget gak muncul-muncul. Aku langsung masuk ke pusat informasinya BlueMountainExplorer Terus bapak-bapak yang jaga di pusat informasi nanya: “Kamu sendirian?” Enggak lah, ada 4 orang lagi bareng aku. “Kalo gitu, kamu bawa temen-temen kamu kemari dulu, baru nanti saya jelasin.” Hmm... apaan sih? Kok mesti rame-rame segala...

Waktu akhirnya kami ngumpul, aku membawa mereka ke bapak-bapak tadi. Terus bapak-bapak tadi mengeluarkan 3 buah booklet dan menukarkannya dengan 5 tiket BlueMountainExplorer kami. Dia bilang booklet itu adalah tiket kami untuk naik bis tingkat BlueMountainExplorer. Kalo mau naik bis, kami kibas-kibaskan aja booklet itu biar pak supirnya ngeliat. 1 booklet ada yang buat berdua, ada yang sendiri. Dia juga kasih tunjuk tempat-tempat menarik yang bisa kami kunjungi selama di Blue Mountain. Bus stop nomor berapa aja dimana kami harus turun.


BlueMountainExplorer adalah bis double decker atau bis tingkat berwarna merah yang dicat seperti double deckernya Inggris. Untuk perjalanan pertama, kami naik di lantai atas. Ini pertama kalinya aku naik bis tingkat loh. Dulu kan di Jakarta ada bis tingkat PPD, cuman waktu bis tingkat itu masih jaya-jayanya, aku belum bisa naik bis sendiri. Lagipula di dekat rumahku kan gak lewat PPD.(kecuali Depok-Grogol yang sangat jarang itu kali ya).


Pemberhentian pertama adalah bus stop 9 yang berada di dekat stasiun Kereta Gantung yang menuju ke Scenic World. Kami gak mau naik kereta gantung, tapi dari dekat situ ada akses masuk ke jalan setapak yang berada di pinggir tebing-tebing Blue Mountain. Pemandangan pertama, kami nikmati dari titik yang disebut Cliff View Lookout.


Dari tempat tersebut batu yang jadi landmarknya Blue Mountain terlihat lumayan jelas. Batu itu disebut The Three Sisters, karena bentuknya yang seperti orang berjejer tiga. Aku langsung semangat pengen foto-foto dengan latar belakang The Three Sisters itu tadi, karena dalam kehidupan nyata aku kan one of another group of Three Sisters... hihihi...

Dari Cliff View Lookout, kami jalan mengikuti jalan setapak ke arah Scenic World. Sampai akhirnya keluar di jalan raya lagi, di dekat bus stop 11. Kita mulai kelaparan. DI dekat situ ada cafe sebenarnya, tapi kok gak menarik. Aku mampir dulu di toilet, yang kusebut sebagai MCK-version of Australian toilets. Agak-agak jorok relatif dibandingkan toilet-toilet lain di Australia. Udah gitu bangunannya mirip sama MCK di Buperta Cibubur.

Pak Yus akhirnya mengajak kami untuk turun terus mengikuti jalan setapak, menuju ke stasiun Scenic Railway, yang katanya jalan kereta paling curam di dunia. Hmm... seberapa curam ya? Kita liat nanti... tapi sebelumnya kami sempat berbelok dulu untuk melihat air terjun yang sepertinya sih Katoomba Cascade.


Sebenarnya kita gak boleh mendekat sampai ke pinggir air terjun, karena ada pagar pengaman yang membatasi. Tapi karena kami lihat ada bule manjat pagar itu. Pak Djoni dan Iqbal ikutan memanjat pagar biar bisa foto di dekat air terjun. Dan waktu mereka lagi mikir-mikir angle yang bagus... aku juga ikutan manjat pagar.

Jalan kaki turun terus itu jadi mengingatkan aku pada pengalaman di negeri orang yang lain lagi: Huangshan. Jadilah aku menjuluki perjalanan ini sebagai Huangshan Ketiga. Yang pertama adalah perjalanan Huangshan aslinya, yang kedua ketika turun tangga darurat akibat ancaman bom di Kwarnas, nah ini yang ketiga. Dah kebayang deh gimana sakitnya dengkulku besok pagi. Selain turun, jalan setapak itu juga penuh dengan daun-daun dan sedikit basah, karena daerah itu memang rainforest, jadi agak licin deh... hmm padahal aku gak pakek sepatu olahraga, hanya pakek sepatu sandal trepes yang biasa aku pakek buat belanja di mall, jadi gak terlalu “megang”. Lama-lama karena takut kena basah dan supaya bisa jalan dengan lebih leluasa... aku pun menggulung celana panjangku...

Setelah turun, turun, dan tuuurrruuunn menyusuri jalan setapak penuh tangga (bahkan ada tangga yang terbuat dari besi) yang disebut Furber Steps, sampai juga kami ke perbatasan Blue Mountain National Park dengan daerahnya Scenic World. Di situlah stasiun bawah dari Scenic Railway berada. Rencananya kami akan naik dari lembah ini menggunakan kereta tersebut, biar gak capek mendaki lah.


Ceritanya jalur kereta tercuram itu dulunya digunakan untuk mengangkut pekerja tambang batu bara yang bekas kantornya ada di lembah itu. Kereta yang gerbongnya minimalis, hanya terdiri dari kursi-kursi, palang-palang, plus rantai pengaman, menembus tebing batu untuk sampai ke stasiun atas yang terletak di bangunan utama Scenic World. Jaraknya sekitar 545 m dari atas ke bawah, and vice versa.

Waktu baru selesai foto-foto di sekitar kantor tambang batu bara, tiba-tiba GRUDUK! GRUDUK! GRUDUK! WAAAAA!!! (suara orang teriak). Ternyata keretanya datang DARI ATAS tebing... dekat sekali sama tempat kami berdiri. Wedeeww... kayaknya lumayan curam juga. Gimana ya rasanya naik kereta itu? Mungkin seperti naik halilintar mundur? Orang-orang yang pada turun dari kereta pada ketawa-ketawa lega... Hmm? Jadi semakin penasaran nih.

Karena semuanya sudah selesai berfoto, kami naik kereta yang menuju ke atas. Hmm... ternyata posisi duduknya jadi mundur. Gak banyak yang naik kereta bareng kami, jadi bisa milih gerbong sesukanya. Kami milih gerbong yang tengah. Pak Yus duduk paling depan, aku dan Iqbal di belakang pak Yus, pak Mahyudin dan pak Djoni di belakang kami. Keretanya jalan...

WWUUUAAAAA.... ternyata seru banget.. mengerikan tapi menyenangkan... aku gak berani ngelepas peganganku ke palang-palang besi yang tersedia di gerbong itu, teriak-teriak, tapi sambil ketawa kegirangan. Pak Yus dengan santainya balik badan terus minta kamdig buat moto kita-kita, Iqbal tadinya juga gak berani ngelepas tangannya dari besi-besi itu, tapi terus entah gimana dia berhasil mengeluarkan kamera dari tasnya, kemudian menyerahkannya ke pak Yus. Sekali jepret, goyang (ya iyalah pak... wong keretanya ngebut gitu, susah mau ambil gambar yang steady). Pas pak Yus mau jepret sekali lagi, tiba-tiba... GGEEELLLAAAPPP!!! Rupanya keretanya masuk ke terowongan menembus bukit (bukit tebing kali ya, abis curam banget gitu...). Kemudian tak lama... keretanya agak-agak ngerem dan berhenti di stasiun atas yang berada di Scenic World. Kami pun turun, kemudian membayar $10 sebelum keluar.

Wuuaaa... aku jadi merasa laaappaaarrr banget. Untung di Scenic World itu ada Skyway cafe. Langsung mesen sandwich deh... kali ini Turkey on Chiabatta. Turkey itu daging kalkun dibikin lembaran-lembaran seperti smoked beef, terus dibuat sandwich dengan menggunakan roti Chiabatta. Entahlah roti Chiabatta itu asalnya darimana, pokoknya bentuknya seperti bantal dan rasanya sedikit asam. Kalo di Jakarta kadang bisa ditemukan dalam ukuran lebih kecil di Carrefour. Minumnya? Kebetulan sebelum pesen makanan, aku sempet ngelirik ke kulkasnya cafe itu, sepertinya ada botol Coca Cola dengan tutup dan label warna putih. Langsung deh pesen minuman itu: Coca Cola Vanilla!! Aku aslinya gak begitu seneng minum soft drink yang bersoda-soda gitu, tapi aku suka Coca Cola Vanilla. Barang itu gak ada di Jakarta, kalopun ada itu pasti impor yang harganya males banget.


Lagi-lagi dikasih pager seperti waktu di SharkBites. Emang praktis sih... jadi gak perlu pelayan, tapi juga gak perlu teriak-teriak manggil tamu yang pesenannya sudah siap. Karena tenaga kerja mahal, jadi emang harus menggunakan teknologi.

Selesai makan, kami keluar dari Scenic World, kemudian naik bis tingkat lagi. Kali ini tujuannya adalah ke Bus Stop 13, di dekatnya Blue Mountains Chocolate Shop. Di situ boleh cicip-cicip coklat kecil-kecil yang rasa standar: milk choc, dark choc, dan white choc. Aku hanya beli 1 bar dark chocolate (standarnya aku juga... hehehe). Abis itu kita lanjut jalan kaki menuju ke The Echo Point. Titik Pemandangan yang lain.


Dari Echo Point ini, The Three Sisters keliatan jelas sekali. Pokoknya keren banget buat foto deh... hehehehe... apalagi mataharinya lagi mencrang-mencrangnya...

Setelah puas poto-poto di Echo Point, kami naik double decker lagi. Pemberhentian berikutnya di Bus Stop 18. Ceritanya mau liat Gordon Falls. Tapi ternyata dari Gordon Falls Lookout pemandangan ke Gordon Falls-nya sendiri gak terlalu bebas. Mungkin ada jalan setapak lagi menuju ke sana, tapi yang pasti kami udah pada mulai teler. Sakit dengkul bookk...

Akhirnya kami jalan kaki ke Bus Stop 19, karena di situ ada Toys & Railway Museum. Sambil foto-foto di depan villa-villa yang kami lewati. Ternyata akhirnya gak jadi masuk ke museum yang tadi, abis masuknya bayar. Kirain gretong... (hehehe... dasar turis ngirit).


Naik bis tingkat lagi... kali ini berhenti di Bus Stop 21. Obyeknya adalah Leura Village. Ada deretan toko-toko gitu deh... yang pertama kukunjungi adalah: Cafe Josophan’s. Katanya bapak-bapak yang di pusat informasi BlueMountainExplorer, cafe itu menyajikan cokelat yang paling enak di seluruh dunia. Jadi aku beli segelas Hot Chocolate. Enak sih emang... tapi apakah itu yang paling enak di seluruh dunia? Aku gak tauk sih...


Setelah selesai minum coklat, ke toilet, dan mencari-cari Iqbal yang tiba-tiba menghilang... aku berkumpul dengan yang lain, terus kami pun berjalan menuju stasiun Leura. Kami akan naik kereta untuk kembali ke Sydney dari stasiun Leura itu.


Setelah menunggu di stasiun Leura, kami naik kereta jam 5.28. Tidur dengan suksesnya di kereta. Capek banget, tapi puasss....

Dua jam kemudian sampai di Sydney, masih agak-agak terang gitu. Kami berhenti di Central, dan tidak meneruskan perjalanan ke Museum, melainkan malah berjalan kaki menuju World Square, shopping center di antara Goulburn St., George St., dan Pitt St. Menurutku sih not a very wise decision, mendingan naik kereta ke Museum dulu baru jalan... ini jalannya kejauhan, kita kan abis seharian jalan... udah gitu mana hujan rintik-rintik pula. Kali ini hujan betulan, bukan drizzle.

Sampai ke World Square, mencari Hot Dollar, semacam toko lima ribuan gitu. Di situ memang banyak barang-barang oleh-oleh Australia. Tadinya aku gak berminat. Tapi terus kupikir... kapan lagi sempatnya... mendingan waktu lain dipakek buat jalan-jalan daripada belanja. Nah, waktu di World Square ini aku sempet masuk sebentar ke Dymocks cabang World Square. Pas aku masuk... kayak ada sesuatu yang aneh. Ternyata... toko itu memutar musik sunda yang biasa diperdengarkan di restoran kuring!!

Setelah belanja ol-ol, tadinya mau cari resto yang jualan nasi, tapi sepertinya sudah tutup. Akhirnya cari KFC di George St. Makanlah kami dengan Ayam Fillet-nya KFC + Chips-nya yang enak itu. Abis itu pulang ke hotel.

Sampai di hotel ternyata harus bayar hotel untuk bukingan 3 hari berikutnya. Bayar cash pula. Waaatttaaa... untungnya pak Mahyudin banyak bawa Australian Dollar, jadi kita rame-rame minjem ke pak Mahyudin dulu.

Sydney Trip: Day 5

Jum'at, 31 Oktober 2008
Rencana hari ini mau ke Bondi Beach. It was supposed to be a half day trip, secara transportnya simple banget. Tapi akhirnya hari ini berubah jadi Bondi + Shopping Day for all of us.

We were running late. Jam 9 turun ke lobby, baru Iqbal yang siap. Pak Yus menghilang untuk mencari money changer. Akhirnya aku nginternet dulu di hotel. Sampe abis 3 dollar (30 menit). Ternyata pak Yus menemukan ANZ Bank di persimpangan Pitt St. dan Market St. Namun sekarang pak Yus belum siap berangkat ke Bondi.

Aku juga lagi butuh Australian Dollar lagi. Jadi aku bilang aku mau ke ANZ juga, terus nanti pas mereka berangkat, tinggal SMS aku saja, aku bakal nyusul ke stasiun Museum. Jadi pergilah aku ke ANZ, sekalian sambil tengak-tengok cari Krispy Kreme. Aku laper banget belum sarapan. Yang terbayang untuk mengatasi kelaparanku adalah donat. Aku gak tertarik liat donat-donat yang di minimart atau convenience store yang kulewati, kayaknya yang bisa masuk ya yang model Krispy Kreme gitu.

Di ANZ, ngambil nomor antrean money changer. Tuker duit dari US$ ke A$, kena charge A$8 untuk 1 transaksi. Abis itu aku sekalian nanya... bisa gak nukerin uang A$ jadul. Aku tuh dibawain uang Australia sisa pergi tahun 1995 itu. Uangnya jadul, lecek, dari kertas pula, bukan dari plastik kayak yang sekarang. Pas kutanyain di money changer di Jakarta, mereka bilang coba aja ditanyain ke bank di Aussie. Mas-masnya bilang bisa, tapi harus di teller, aku mesti ngambil nomor antrean baru. Jadi setelah urusan tukar uangnya selesai, aku narik nomor antrian lagi. Tapi bingung mau yang mana... abis di layanan teller gak ada tertulis bahwa mereka melayani “penukaran uang jadul”, semua layanan teller berkaitan sama rekening aja. Jadi aku ngambil antrian customer service untuk pendatang dan pelajar. Kali ini yang nerima ibu-ibu yang baik banget. Dia ngomong ke aku seolah-olah aku anak ABG yang baru aja dateng ke Aussie buat sekolah. Terus kutunjukin duit jadulku. Abis itu diantarnya aku ke teller, gak lama kemudian selesai deh urusan... hihihi... abis itu aku jalan kaki ke arah George St (dan bukannya ke arah stasiun Museum... wekekekek...). Bukannya fokus pada pencarian Krispy Kreme, aku malah masuk TGV (The Galleries Victoria) dan mencari.... KINOKUNIYA!!!

Tinggal selangkah lagi masuk Kinokuniya, Iqbal ngirim SMS... katanya mereka sudah berangkat. Yaaahh... gagal maning Kinokuniya-nya. Tapi yang penting sudah tauk tempatnya. Akhirnya kubilang bahwa aku akan langsung ketemu mereka di stasiun Central, tepatnya di platform yang melayani kereta jurusan Bondi Junction.

Dari TGV aku langsung nyebrang ke stasiun Town Hall. Aku kemaren-kemaren udah liat bahwa di dekat pintu masuk stasiun Town Hall ada Krispy Kreme. Hehehe... jadi sebelum masuk Town Hall, beli 1 Original Glazed-nya Krispy Kreme dulu. Yummyyy... sebenernya gak doyan-doyan amat sih, tapi namanya juga belum sarapan...

Dari Town Hall langsung ngambil kereta ke Central, terus di Central ngambil platform 24, yang emang tempatnya agak terpisah dan khusus melayani jurusan Bondi Junction. Ternyata aku nyampai beberapa menit lebih dulu dibandingkan bapak-bapak.

Kami pun naik kereta jurusan Bondi Junction sampe poll trayeknya. Suasana di kereta ini agak berbeda dibandingkan kereta-kereta yang kemaren kami naiki. Di kereta ini nih orang banyak yang pakek baju pantai, maen banget lah suasananya.

Sampai di Bondi Junction, kami ngantre naik bis yang menuju Bondi Beach, pilihannya kalo gak nomor 380, 381, atau 333. Baru kali ini nih, akhirnya nyobain menggunakan Green Travelpass-nya untuk naik bis.

Sampai di Bondi Beach... WAAAAA... bener-bener beda dengan yang kulihat tahun 1995. Waktu itu kan pas winter, jadi pantainya kosong. Kali ini lumayan penuh, meskipun aku yakin bakalan lebih penuh lagi andaikata itu wiken atau ketika summer nanti. Aku, Iqbal, dan pak Djoni turun ke pasir dengan copot sepatu, sementara pak Yus dan pak Mahyudin jalan-jalan di pertokoannya. Banyak barang-barang surfing di sana, kesukaan anaknya pak Yus.


Salah satu syarat minimal ketika pergi ke pantai adalah: paling gak kaki harus dibasahi dengan air laut di pantai tersebut. Dan itulah yang kami lakukan. Tapi ketika mencelupkan kaki ke ombak yang menepi... BBRRRR... wah ternyata suasananya aja yang agak panas, tapi airnya tetep aja kayak air es!!

Setelah puas foto-foto... kami mencari pak Yus dan pak Mahyudin. Dan juga mencari makan sih... sudah jamnya makan siang. Setelah menunggu dan sok-sok berjemur di pinggir pertokoan, sehingga berakibat belangnya telapak kaki, akhirnya kami makan di Hungry Jack (lagi). Kali ini aku memesan Cheeseburger Regular Value Meal yang minumnya di-“upgrade” jadi Orange Juice. Aneh... masa’ soda lebih murah dibandingkan orange juice.

Selesai makan, kami berencana mau balik ke kota untuk mengunjungi Paddy’s Market, pasar oleh-oleh murah yang hanya buka pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Aku mengajak kita naik bis saja sampai ke kota, itung-itung nyoba naik bis yang agak jauh. Kali ini bis pilihan kami adalah route 333 yang merupakan Pre-Pay Only Bus, artinya sebelum naik bis itu harus beli tiket terlebih dahulu, pak supirnya gak merangkap jualan tiket di atas bis. Kalo kami kan bisa pakek Green TravelPass, jadi ga usah beli tiket lagi.

Bis 333 ini tergolong bis gandeng... aku juga baru pertama kali ini naik bis gandeng yang ternyata rada-rada “egal-egol” kalo belok. Di Jakarta ada bis gandeng, bahkan TransJakarta pun ada yang gandeng, tapi kebetulan aja belum pernah dapet TransJakarta yang tipe gandeng, kalo yang gendeng... yaaahh... pernah lah beberapa kali...

Tujuanku untuk naik bis adalah biar bisa liat-liat pemandangan di sepanjang jalan, kalo naik kereta kan gelap doang pemandangannya. Tapi dari Bondi Beach sampai ke Bondi Junction, yang ada aku malah tidur, karena keenakan di-lela-lela di dalam bus. Akhirnya waktu sebagian besar penumpang turun di Bondi Junction, aku pindah ke belakang (bagian gandengan), mendekati anggota rombonganku yang lain. Asik juga sih... liat toko-toko di pinggir jalan yang kami lewati, terus sedikit ngerasain macetnya Sydney. Waktu tahun 1995, di catatan perjalananku aku bilang kalo di Australia gak ada macet, makanya seneng banget pas liat macet gara-gara ada demo anti nuklir di George St. Nah... kalo sekarang, hampir tiap sore aku menyaksikan kemacetan kecil di depan Queen Victoria Building.

Selain liat toko dan macet, kami sempet liat ada perbaikan sarana umum yang sedikit mengorbankan trotoar. Mirip dengan pembangunan trotoar di samping Sampoerna Strategic Square, sebelah kantorku. Bedanya? Kalo di Sydney, di samping trotoar yang babak belur itu dikasih karpet abis itu di sisi luarnya diberi pagar, jadi pejalan kaki tetep bisa jalan kaki dengan tenang tanpa takut diserempet mobil. Kalo di samping Sampoerna, kita mesti sharing jalan bareng motor dan mobil... duh capek deh...

Rencananya kami mau turun di halte Circular Quay, tapi waktu lewat di dekat Hyde Park, pak Yus mengusulkan kami untuk turun di situ saja, jadi kami pun turun di seberang stasiun St.James. Trus kami masuk dulu ke Hyde Park untuk foto-foto di depan St.Mary Cathedral. Setelah itu, kami masuk ke stasiun St.James kemudian naik kereta ke Central.


Dari stasiun Central, kami jalan kaki ke Paddy’s Market. Lumayan emang... barangnya lebih murah dari di Hot Dollar. Jadi beli-beli lagi deh, nambahin ol-ol yang kemaren dah dibeli di Hot Dollar World Square, tapi gak terlalu banyak. Aku gak lama-lama di Paddy’s Market, setelah selesai beli-beli, aku pamit kepada bapak-bapak, karena aku mau wisata TOKO BUKU!!!

Aku pun berjalan menyusuri George St. (sambil bawa-bawa buntelan ol-ol itu). Tujuan pertamaku adalah Kinokuniya yang tadi pagi gagal dikunjungi. Di Kinokuniya berusaha mencari majalahnya Ndoro, tapi ternyata mereka cuman jualan majalah Design & Architecture. Akhirnya hanya beli buku-buku Star Trek.

Dari Kino, terus nyebrang George St. ke dekatnya QVB, terus nyebrang York St., aku pun masuk ke Galaxy Books, toko buku yang jualan pernak-pernik sci-fi. Di sini memang buku Star Trek-nya banyak. Tapi aku udah merasa cukup dengan buku yang di Kino. Lagi gak ada buku Star Trek yang spesial banget sampe harus nambah-nambahin bobot koper.

Keluar dari Galaxy, aku jalan ke arah Market St. Kurang lebih 3 toko dari Galaxy, nemu toko majalah. Ternyata di situ jualan majalah cross-stitch pesenannya Ndoro. Aku beli 1 yang keliatannya belum punya. Paling gak satu barang titipan dah dapet deh...

Next destination adalah Dymocks, toko yang dulu sangat menarik karena banyak jualan buku Star Trek. Nah... aku bersarang aja tuh di basement-nya. Buku Star Trek-nya udah kebeli di Kino, tapi tetep liat-liat, kali aja ada yang tertinggal (ternyata enggak sih). Abis itu liat buku piano secara detail. Gak ada yang menarik banget sampe harus bela-belain beli. Trus masih usaha ngeliat di Disney Store-nya, tapi kok buku semua sih? Gak ada bonekanya. Aku kan nyari eeyore. Di salah satu pojok di deket Disney Store itu, ternyata ada boneka-bonekanya Original Pooh, dan ada Original Eeyore yang warnanya ungu. Bungkus deh!!

Dari Dymocks, aku jalan kaki menuju hotel. Bawaan udah berat, aku harus meletakkannya di hotel dulu kalo mau cari makan malam. Kirim SMS ke Iqbal, ternyata mereka baru aja sampai dari Paddy’s Market. Ya wis, janjian cari makan malam bareng.

Setelah taroh barang di hotel, aku dan Iqbal jalan lagi. Bingung mau kemana... aku inget SMS dari Kiki yang menyarankan untuk mengunjungi Chinese Garden of Friendship. Kami pun jalan kaki dari hotel menuju daerah Darling Harbour. Chinese Garden letaknya di depan Darling Harbour Exhibition Centre. Dari luar keliatan penuh dengan bamboo dan willow tree. Ketika kami sampai di pintu depannya, ternyata mereka sudah tutup jam 6 sore, sedangkan itu sudah hampir jam 7, pakek admission fee pula. Oohh... kirain gretong, biasanya kan taman itu gratisan. Hehehehe...


Akhirnya kami foto-foto saja di depannya. Terus aku mengusulkan kita ke Harbourside Shopping Centre saja, karena Iqbal bilang dia cari KFC. Kalo aku cari Sushi. Pengen makan Sushi di Sydney. Kebetulan aku inget di food courtnya Harbourside tuh ada KFC dan ada yang jualan Sushi. Taappiii... biar lebih seru, kami mau naik tram (LightRail), sekalian nyoba naik gitu loh.

Kami berjalan melewati samping Exhibition Centre untuk menuju stasiun tram terdekat. Stasiun tram-nya agak aneh... ticket vending machine-nya rusak, trus ada keterangan bahwa bayarnya di atas tram. Hihhihi... jadi kayak Metro Mini, ada yang kecrek-kecrek koin gak ya?


Gak lama tram-nya datang. Mungkin karena itu jam pulang kantor ya, jadi tramnya peennuuuhh... walaupun gak sepenuh busway ketika jam pulang kantor sih. Kami masih bisa dengan mudah menemukan tempat berdiri. Biaya naik tram lintas zone adalah $4.20. Memang kami hanya melewati 2 stasiun, tapi sudah nyebrang dari zone 1 ke zone 2. Aku mengoper duit receh senilai $4.20 ke Iqbal waktu kulihat mbak-mbak kondekturnya berjalan ke arah Iqbal. Udah gitu, gak lama... ternyata kami sampai di stasiun Pyrmont, tempat kami harus turun.

Setelah turun dari tram dan lagi jalan keluar, Iqbal tiba-tiba bilang: “Tadi gak bayar Git... abis kondekturnya tiba-tiba balik arah pas udah deket ke gue.” WHAT?!! Wakakakakakakakak... Hoooreee... Kapan lagi coba, bisa naik kendaraan umum di Aussie terus gak bayar...


Kami sempet foto-foto di seputaran StarCity dan Pyrmont Bay, aku yang tadinya masih hore-hore aja jalan dengan T-Shirt dan celana capri, akhirnya menyerah dan mengeluarkan jaket. Anginnya gede banget sih... Baru setelah itu jalan masuk ke Harbourside.


Kami makan sesuai rencana (KFC dan Sushi maksudnya). Aku ngambil paket Sushi seharga $9.50 di stall Sakura di food court. Yang jualan jepang banget. Wasabi-nya di dalam kemasan kantong kecil gitu. Hmm... yummy... akhirnya... susshhiii... Setelah kenyang, jalan-jalan dulu ngeliat-liat Harbourside Shopping Centre ini, karena waktu hari pertama baru dateng, gak sempet ngeliat detailnya. Aku agak-agak berharap ada toko yang jualan barang Snoopy, tapi ternyata pilihan tokonya garing, gak serame jaman pertama kali ke situ.


Setelah puas (maksudnya puas gak nemu apa-apa...), kami pulang dengan menggunakan monorail. Emang udah niat sih, bahwa selama di sana kudu mencoba sebanyak-banyaknya mode transportasi umum. Aku pikir tiket monorail itu bangsa $3.50 gitu, eh tak taunya $4.80 untuk sekali naik, jauh-dekat bayarnya sama. Trus meskipun itu sudah jam 9 malam, ternyata monorailnya lumayan penuh, jadi kami gak kebagian pada kesempatan pertama. Kami baru naik pada monorail kedua yang datang setelah kami nunggu di peron. Trus untuk membuat supaya $4.80-nya gak berasa kemahalan, kami memutuskan untuk muter 1 circle dulu dari stasiun Harbourside sampe ke Harbourside lagi, baru kemudian turun di stasiun World Square.

Kita belanja-belanja dulu di World Square. Ralat ding... aku belanja di Priceline, sedangkan Iqbal nunggu di warnet depannya Hot Dollar. Kalo di toko obat macamnya Watsons gitu kan suka banyak barang aneh yang gak ada di Indonesia. Aku memang mengincar barang tertentu yang gak ada di sini. Hehehe...
Setelah mendapatkan info tentang beberapa alternatif tempat wisata, kami pun pulang dengan memutuskan bahwa besok kami ke Manly!!