Monday, May 07, 2007

Tenggarong Trip - 5 Mei 2007

Salah satu julukanku adalah tukang tidur, atau kerennya: Sliping Byuti, tetapi [tumben-tumbenan] pagi ini ternyata aku bangun sebelum yang lain bangun, hmm... mungkin karena sehari sebelumnya aku gak ngantor ya.

Sambil menunggu kedatangan Bagus, Dedy, dan Pandu, aku berkunjung ke rumah Ivan untuk melihat-lihat koleksi DVD/CD-nya. Jam 8, waktu kita lagi nonton Queen, barulah mereka bertiga datang dengan Innova sewaan.

Setelah bersih-bersih interior mobil sebentar, kami pun berangkat. Tidak lupa mampir ke kantor Pertamina EP Region KTI untuk menjemput mas Benny, driver kami hari ini. Baru beberapa menit beranjak dari kantor Region KTI, kira-kira ketika melewati Kantor Besar, “kresek…kresek…”, terdengar bunyi kantong plastik tergesek-gesek, meaning: ada yang membongkar bungkusan snack!! Haha… tersangkanya adalah yang duduk di kursi paling belakang. Hmm… memang kami semua belum sempat sarapan, jadi sebelum keluar Balikpapan, mampir dulu untuk sarapan dengan menu lontong sayur, coto makassar, dan nasi kuning.

Kami menuju Tenggarong dengan memilih rute Tritip, tempat penangkaran buaya. Jalannya halus, tapi agak sempit dan belok-belok. Mas Benny nyetirnya agak-agak heboh, namun keliatan cukup menguasai medannya. Rasanya aman, tapi di dalam (terutama yang di kursi tengah) jadi dapat bonus “main roller coaster”, alias terlempar ke kiri dan kanan. Pandu yang pindah duduk ke belakang setelah sarapan tadi malah tenang-tenang saja, tidur-tiduran sambil menikmati musiknya sendiri, seolah tidak terpengaruh dengan kontur jalan yang heboh tadi.

Sebelum masuk ke jalan “hutan”sempat mampir ke toilet umum, setelah dikecewakan oleh SPBU yang ternyata tutup. Kemudian setelah keluar dari jalan “hutan”, kami memilih rute “pinggir sungai Mahakam” untuk menuju Tenggarong (tidak lewat kota Samarinda).

Jalan “pinggir sungai” kecil dan gak begitu halus, di kiri kanannya padat penduduk. Sebagian penduduk di sebelah kanan ada yang tinggal di atas sungai. Meskipun kali ini bukan pertama kalinya melihat sungai besar, menyusuri sungai Mahakam dan melihat kehidupan di sekitarnya merupakan pengalaman tersendiri. Banyak hal-hal unik yang tidak ditemui tiap hari di kota metropolitan, seperti rumah terapung atau tongkang batubara yang sedang diisi, bahkan kami sempat mengamati arus sungai yang (secara sok tauk kami simpulkan) seperti tidak teratur dan unpredictable.

Bagus mulai mengiming-imingi kami dengan “jembatan berlampu”, katanya kalau sudah sampai di Tenggarong nanti, ada jembatan keren yang banyak lampunya. Karena rasanya lama sekali tidak sampai-sampai, setiap melintas di atas jembatan, kami selalu bertanya: “Bukan yang ini jembatannya Gus?”.

Kemudian, tiba-tiba aku mencium bau yang cukup familiar: brownies kukus, meaning: ada yang membuka kotak brownies di kursi belakang!! Kami pun bagi-bagi brownies yang katanya enak itu.

Lagi asik makan brownies, hujan deras turun, padahal sedari tadi panasnya bukan main. Ketika kami memasuki kota Tenggarong, hujan deras masih juga turun. Jembatannya Bagus tadi sampai tidak terlihat dengan jelas. Kami menemukan nickname buat Jembatan Kartanegara ini: Cisco. Bukan karena mirip Golden Gate di San Fransisco, tapi karena jembatan adalah lambangnya Cisco, brand alat-alat network yang tersohor, dan kebetulan kami semua mencintai Cisco [wahahaha… benarkah demikian?].

Tak berapa jauh, meskipun samar-samar di tengah hujan, terlihat kereta gantung dan sky tower-nya Pulau Kumala. Ivan langsung merengek pengen naik kereta gantung itu, tapi tentu saja kami harus menunggu hujan reda.

Ketika kami masih bingung mau kemana dulu (berhubung masih hujan), dari sebelah kiri mobil terdengar: “Ada yang merasa lapar gak?”. Yang lain menjawab dengan kompak (dan berbohong): “Enggak!!”.

Ya…ya… kami semua merasa lapar, mungkin kecuali aku yang (anehnya) sepanjang hari Sabtu tidak merasa lapar. Tapi yang lain saling menunggu, siapakah yang duluan mengaku lapar…?? Ternyata Dedy yang duluan memecah keheningan lapar mereka dengan our question-of-the-day. Sembari mencari tempat makan, brownies kukus pun disantap habis.

Kami pun berhenti di restoran yang terletak di depan Museum Mulawarman. Kami memesan ikan mas goreng, ikan bawal bakar, dan ikan patin bakar, lengkap dengan tumis kangkung, plus oseng pare dan balado teri. Kemudian kami memilih tempat duduk yang mepet dengan pinggir sungai. Sambil makan, kami menikmati hujan yang turun di tepi sungai Mahakam.

Di depan tempat kami makan, ada kapal yang di atasnya ada organ tunggal sedang berlatih. Selain organ tunggal, terlihat juga loyang-loyang katering. Rupanya kapal itu sedang menunggu para turisnya. Ketika kami selesai makan, turis-turis berdatangan ke kapal itu, dan kemudian mereka menyebrang ke Pulau Kumala. Sementara itu, kami masih penasaran sama kereta gantung.

Selesai makan, kami mencari museum Kayu. Takjub juga ketika ternyata Bagus bisa menemukannya. Museum Kayu ini tempatnya agak mblusuk-mblusuk, jalannya pun jelek banget, gak kebayang kalau di tengah-tengahnya ada museum. Petunjuknya adalah museum tersebut berada di dekat waduk Panji. Kami pun mengikuti petunjuk jalan ke waduk Panji. Kukira yang namanya waduk Panji itu seperti waduk Cirata, ternyata lebih mirip tempat pemancingan ikan atau restoran kuring.

Harga tanda masuk ke museum Kayu juga membuat takjub: 500 rupiah saja. Memang tidak banyak yang dipamerkan di museum tersebut, hanya ada contoh-contoh kayu, contoh produk dari kayu, dan 2 ekor buaya besar yang diawetkan. Oya, ditambah dengan kliping-kliping berita tentang keganasan buaya. Hiii… males banget.

Sebelum meninggalkan museum Kayu, kami sempat berfoto-foto. Foto barusan adalah salah satu hasilnya, dan ini adalah awal dari karir singkat kami sebagai foto model, pengarah gaya, dan sekaligus fotografer.

Dari museum Kayu, kami beranjak ke stasiun kereta gantung. Mas Benny menolak ketika kami ajak menyebrang ke Pulau Kumala, lebih memilih beristirahat di mobil. Dan kami pun dengan ceria membeli tiket, dan masuk ke stasiun kereta gantung. Kami sama sekali tidak perlu mengantri, hanya ada satu rombongan di depan kami. Menurut info yang didapat dari teman-teman maupun internet, untuk naik kereta gantung ke Pulau Kumala kerap kali harus mengantri berjam-jam, tapi hari ini tidak seperti itu. Mungkin karena sehabis hujan, atau karena bukan hari Minggu. Lihat foto-foto ceria kami sebelum naik ke kereta gantung.

Keceriaan Pandu sedikit terhapus begitu kita naik ke kereta gantung. Ternyata menyeramkan katanya… Bahkan untuk berpose aneh-aneh untuk foto pun tidak berani, selalu mengingatkan: “Jaga keseimbangan… jaga keseimbangan…”. Kami sudah berusaha untuk melakukan load balancing antara tempat duduk kiri dan kanan. Di tempat duduk yang satu terdapat 60 + 53 + 55 kg, sedangkan tempat duduk sebrangnya terdapat 80 + 83 kg, cukup seimbang kan?

Turun dari kereta gantung, kami naik kereta kelinci menuju ke Sky Tower. Sky Tower ini cukup canggih, aku belum pernah melihatnya di tempat lain di Indonesia. Tapi Pandu tidak tertarik untuk naik ke Sky Tower. Akhirnya kami berempat saja, tanpa orang lain juga, padahal kapasitas Sky Tower tersebut cukup besar. Dengan diiringi lagu Let’s Dance Together-nya Melly feat.BBB, Sky Tower pun mulai berputar ke atas, kami pun bisa melihat sekeliling kota Tenggarong. Tak lupa foto-foto di atas Sky Tower.

Dari Sky Tower, semula kami ingin bermain trampolin, tapi karena kelihatannya sudah hampir hujan, takut tidak bisa kembali ke sebrang dengan kereta gantung, jadi kami cepat-cepat menuju ke patung Lembuswana untuk berfoto-foto. Sayangnya aku belum menemukan literatur tentang Lembuswana ini. Di Wikipedia gak ada sih…

Ini sedikit hasil foto di dekat patung Lembuswana beserta komentarnya:

Gus, kenapa dirimu terlihat seperti sedang nggoda anakmu? Di depanmu itu si Pandu, bukan Nindi...

F4 lagi kunjungan ke Tenggarong. What are you looking at?

Dari patung Lembuswana, kami cepat-cepat menuju kereta gantung lagi. Kali ini Pandu memilih duduk di tengah. Dan kami pun tiba di sebrang sebelum hujan lebat datang. Dari stasiun kereta gantung, tujuan berikutnya adalah kota Samarinda. Tapi sebelumnya, kami mau berfoto-foto dengan latar belakang Cisco dulu.

Untuk berfoto-foto, pengunjung kota Tenggarong dapat berhenti di taman yang terletak di dekat jembatan Cisco. Semuanya berlomba-lomba untuk jadi pengarah gaya dan foto model, karena sangat sulit untuk menjadi fotografer. Di perjalanan ini, fotografer gayanya harus lebih aneh dari foto modelnya. Hal ini disebabkan kami selalu berusaha mengambil gambar dengan latar belakang obyek yang tinggi (Sky Tower, patung Lembuswana, Cisco). Pandu dan Dedy adalah fotografer yang gayanya paling unik, sedangkan aku adalah foto model yang paling gak bisa nahan ketawa ngeliatin fotografernya, sehingga suka merusak formasi. Jadilah hasilnya seperti ini (beserta komentarnya juga):

Foto ini berjudul Tarik Kabel. Ini adalah rombongan penarik kabel, selain itu tepat di atas kepalanya Dedy terlihat kabel-kabel bajanya si Cisco terikat erat.

F4 lagi... kali ini di depan Cisco.

Ini akibatnya kalo fotografernya lebih gaya dari foto modelnya. Lihat ke tanganku, seharusnya aku gak melakukan itu, tapi sesaat sebelum kameranya diklik, aku melihat si Dedy lagi bergaya aneh banget, akhirnya gak bisa nahan ketawa, bubar deh posenya.

Ini juga salah satu foto yang fotografernya lebih lucu dari fotomodelnya, tapi untunglah Pandu sempat menunggu aku diam dulu sebelum ngeklik kameranya.

Kalo lagi jaim gini, keliatan harmonis ya?

Dari Cisco, tujuan selanjutnya adalah kota Samarinda. Yang dicari di kota Samarinda adalah Bioskop 21, kami mengejar film Spiderman 3. Hihi.. lucu juga, ketika semua orang semangat pengen nonton Spiderman 3, aku males-malesan, ealah ternyata sekarang terpaksa ngikut juga. Kali ini rute yang dipilih adalah jalan baru yang menghubungkan Samarinda dengan Tenggarong. Jalannya besar, dua arah dipisahkan dengan tanggul, tapi cukup naik turun dan berbelok-belok, lagi-lagi saatnya main roller coaster. Untungnya formasi sudah berubah lagi, Bagus dan Pandu berpindah ke belakang, dan langsung teler tak lama setelah meninggalkan Tenggarong, aku dan Ivan di tengah, sedangkan di depan Dedy jadi DJ yang harus sabar melayani request dari penumpang lainnya.

Memasuki Samarinda, agak pusing juga. Sedari tadi mas Benny sudah belok sana-belok sini tapi kok aku gak menemukan pola kotanya. Sepertinya tidak ada jalan utama yang paling besar di kota itu, correct me if I’m wrong ya.

Sampailah kami di SCP. SCP adalah sejenis tools untuk FTP… hihihihi, meskipun aku tidak berbohong, tapi yang dimaksud dalam cerita ini sebenarnya adalah Samarinda Central Plaza. Ketika kami sedang mengantri parkir, our question-of-the-day terlontar lagi. Ya..ya… kami berencana makan di McD, tapi sebelumnya harus nge-check dulu di Bioskop 21. Ternyata Spiderman 3 diputer di 3 studio malam itu. Setelah sempat berpindah antrean, dan mengantri bergantian, kami mendapatkan tiket untuk jam 17.20. Aku sempat mencuci muka di kamar mandi 21, karena tadi di toilet lantai lainnya tidak tersedia air.

Mungkin karena hari itu adalah malam minggu, SCP ini penuhnya bukan main, mirip seperti pasar kalau mau lebaran. Harus pandai-pandai mencari jalan zig-zag kalau mau jalan agak cepat.

Setelah beli tiket, kami mencari cemilan di Hero. Lucunya, setelah duduk manis di 21, baru sadar bahwa bungkusan plastik berisi Teh Kotak tertinggal di Kassa Hero. Dedy dan Bagus pun kembali ke Hero. Setelah itu baru pembagian snack dilakukan, dan anehnya gak seperti biasanya, aku sama sekali gak tertarik mencoba snack-nya, padahal biasanya belum ½ film snack-ku sudah tandas.

Komentarku tentang nonton film di Samarinda: AC-nya gak dingin, trus suaranya gak stereo pula. Tapi buat teman-teman yang seperti itu masih mending sih, karena di Balikpapan belum ada bioskop 21.

Selesai ber-Spiderman-ria, kami makan di McD, kemudian bergerak menuju Balikpapan. Sebelum keluar dari kota Samarinda, ada yang terasa aneh… ternyata tidak ada lampu jalan di kota Samarinda, atau ada tapi tidak menyala ya? Gelap banget, jadi tergantung pada lampu mobil dan lampu yang ada di bangunan yang berada di pinggir jalan.

Jam ½ 9 kami keluar dari kota Samarinda, merupakan perjalanan yang cukup berat, sebenarnya kami semua sudah lelah, tapi tidak boleh tidur karena harus menemani mas Benny mengendarai mobil. Berbagai usaha dilakukan: karaokean, ngobrol gak jelas juntrungan, aku bahkan mencoba duduk miring sampai sakit pinggang, karena kalau duduk lurus pasti langsung tidur. Akhirnya sampai di Balikpapan dengan selamat jam ½ 11 malam. Kami menurunkan mas Benny di Kantor Region KTI, kemudian mengeluarkan question-of-the-day lagi… dan kami pun berhenti di “food court” Bekapai. Sejenis Blok S kalau di Jakarta, tapi mungkin lebih lengkap, karena selain menyediakan makanan dan minuman, katanya kalau mau bencong juga ada. Tapi untungnya hari itu aku tidak melihat satupun keberadaannya, mungkin sudah habis kali ye?

Setelah itu, kami pun kembali ke tempat tinggal masing-masing, mandi, kemudian gedabruk… Hhaaa… what a day…

Dari semua tempat yang dikunjungi, yang menonjol adalah Pulau Kumala, itupun sebenarnya tergolong masih belum ada apa-apanya, panas, sumuk, pliket. Mungkin seharusnya kami mengeluh bete ya?

Meskipun akhirnya tanganku jadi agak gatel-gatel karena keringat, dan keesokan harinya yang lain tidur sampai hampir tengah hari, aku tetap menikmati perjalanan ini. Yang berperan dari suatu liburan ternyata bukan hanya bagus/tidaknya tempat yang kita kunjungi, melainkan juga beberapa hal lain. Liburan bisa jadi berarti karena kita melihat hal-hal baru yang tidak kita temui tiap hari, bisa juga karena teman-teman yang pergi bersama dengan kita (yang juga tidak tiap hari kita temui), atau bisa jadi karena liburan adalah pelarian dari keseharian kita yang mulai membosankan.